Universitas Madinah

MERETAS MAKNA DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN MODERN

HADITS JIBRIL, MERETAS MAKNA DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN MODERN

Ustadz Muh. Irfan Zain, Lc.

MERETAS MAKNA DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN MODERN

Hadits Jibril, sebuah narasi singkat, tetapi sarat makna, telah menjadi fondasi penting dalam pemahaman umat Islam mengenai dasar-dasar agama. Hadits ini mengisahkan tentang pertemuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Malaikat Jibril yang datang sebagai sosok orang asing. Beliau hadir dengan membawa peran ganda dalam satu waktu, seorang pendidik dan  pembelajar. Dalam dialog mereka, Jibril bertanya tentang Islam, iman, dan ihsan, serta tanda-tanda hari Kiamat. Jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ringkas dan padat merangkum inti ajaran Islam, menjadikannya sumber referensi utama bagi umat muslim sepanjang masa. Tulisan ini akan mengupas makna tersirat dalam dialog antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Jibril, serta menggali bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan dalam konteks pendidikan modern.

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً». قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ». قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ». قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ: «مَا المَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ». قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا. قَالَ: «أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي البُنْيَانِ». ثُمَّ انْطَلَقَ، فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: «يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟» قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: «فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ».

Artinya: “Dari Umar bin Khattab ra berkata, “Suatu hari kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seorang pria dengan pakaian sangat putih dan rambut sangat hitam. Tidak tampak padanya bekas perjalanan dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Dia duduk mendekati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyandarkan lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan telapak tangannya di atas paha Nabi. Dia berkata, ‘Wahai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.’ Rasulullah menjawab, ‘Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan menunaikan haji jika mampu.’ Dia berkata, ‘Benar.’ Kami heran karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkan.

Kemudian dia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang iman.’ Rasulullah menjawab, ‘Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk.’ Dia berkata, ‘Benar.’

Kemudian dia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang ihsan.’ Rasulullah menjawab, ‘Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’

Kemudian dia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang hari kiamat.’ Rasulullah menjawab, ‘Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.’ Dia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang tanda-tandanya.’ Rasulullah menjawab, ‘Jika budak wanita melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala kambing, saling berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan tinggi.’

Kemudian dia pergi, dan aku terdiam sejenak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah berkata, ‘Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.'” (HR. Muslim)

Dalam khazanah Islam, hadits Jibril ini sangat terkenal dan memiliki makna yang mendalam tentang ajaran agama. Hadits ini mengisahkan tentang kedatangan Malaikat Jibril ‘Alaihissalaam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan agama Islam secara komprehensif. Peristiwa ini bukan sekadar sebuah narasi historis, melainkan juga mengandung nilai-nilai pendidikan yang relevan bagi umat manusia sepanjang masa.

Dialog Ilahi: Menyingkap Tiga Pilar Utama

Hadits Jibril diriwayatkan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu Malaikat Jibril datang dalam rupa seorang pria yang sangat tampan dan mengenakan pakaian yang sangat bersih. Jibril mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan para sahabat dan mengajukan beberapa pertanyaan yang merangkum inti ajaran Islam. Tiga pertanyaan utama tersebut adalah tentang iman, Islam, dan ihsan.

Pertama, Jibril bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab bahwa Islam terdiri dari lima rukun: mengucapkan syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji jika mampu. Pertanyaan ini menegaskan pentingnya tindakan lahiriah dalam beragama yang menjadi fondasi dasar keislaman.

Kedua, Jibril bertanya tentang iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman adalah keyakinan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk. Pertanyaan ini menggambarkan aspek batiniah dari keimanan yang menjadi landasan spiritual seorang Muslim.

Ketiga, Jibril bertanya tentang ihsan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat-Nya, dan jika kita tidak mampu melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Allah melihat kita. Ihsan menekankan kualitas spiritual yang tertinggi dalam Islam, yaitu beribadah dengan penuh kesadaran akan kehadiran Allah.

Konsep yang dihantar melalui tiga pilar tersebut, yaitu konsep Islam, Iman, dan Ihsan, memiliki relevansi langsung dengan kehidupan sehari-hari. Islam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, Iman mengatur keyakinan dan nilai-nilai, sedangkan Ihsan mendorong tindakan yang didasari keikhlasan dan kesadaran spiritual.

Selanjutnya, dialog tersebut diakhiri dengan pertanyaan Jibril tentang tanda-tanda hari kiamat mengingatkan akan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian. Hal ini mendorong umat Muslim untuk senantiasa beramal saleh dan memperbaiki diri.

Nilai-Nilai Pendidikan dalam Hadits Jibril

Hadits Jibril bukan hanya sekadar narasi sejarah, melainkan juga mengandung banyak nilai pendidikan yang sangat relevan dalam konteks pengajaran dan pembelajaran. Beberapa nilai tersebut antara lain:

Pertama, peran yang dimainkan oleh Malaikat Jibril dalam hadits ini bisa dilihat sebagai kombinasi antara seorang pendidik dan penuntut ilmu. Kedua peran ini saling melengkapi dan memiliki tujuan yang sama, yaitu menyampaikan dan menegaskan ajaran agama Islam kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat Muslim pada umumnya. Sebagai pendidik, beberapa nilai pendidikan yang sangat relevan dalam konteks pengajaran dan pembelajaran adalah:

  1. Metode Bertanya: Jibril menggunakan metode bertanya untuk memulai dialog dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Metode ini adalah teknik pedagogi yang efektif untuk mengajak peserta didik berpikir kritis dan reflektif. Dengan bertanya, Jibril merangsang pemikiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, serta menegaskan kembali pengetahuan yang telah mereka miliki.
  2. Mengajar dengan Cara Langsung: Jibril menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang Islam, iman, dan ihsan. Ini mencakup ajaran dasar yang perlu dipahami dan diamalkan oleh setiap Muslim. Dengan cara ini, Jibril berfungsi sebagai seorang guru yang memberikan pengajaran langsung tentang prinsip-prinsip utama dalam agama Islam.
  3. Penjelasan yang Jelas dan Sistematis: Pertanyaan-pertanyaan Jibril diatur secara sistematis, mulai dari rukun Islam (aspek lahiriah), rukun iman (aspek batiniah), hingga ihsan (aspek spiritual). Ini menunjukkan metode pengajaran yang terstruktur, yang membantu para sahabat untuk memahami dan mengingat ajaran agama dengan lebih baik.

Sebagai penuntut ilmu, , beberapa nilai pendidikan yang sangat relevan dalam konteks pengajaran dan pembelajaran adalah:

  1. Bertanya untuk Menegaskan: Meskipun Jibril sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya, dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai cara untuk menegaskan dan memperjelas ajaran agama kepada para sahabat. Ini adalah peran seorang penuntut ilmu yang berusaha mendapatkan penjelasan dan konfirmasi dari sumber yang terpercaya, sekaligus menyebarkannya kepada para sahabat yang mendengarnya ketika itu.
  2. Memvalidasi Pengetahuan: Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab setiap pertanyaan, Jibril membenarkan jawaban tersebut dengan mengatakan, “Benar.” Ini adalah tindakan yang biasa dilakukan oleh seorang penuntut ilmu yang ingin memastikan kebenaran informasi yang diperoleh dari gurunya.
  3. Menyediakan Kesempatan untuk Pengajaran: Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting ini, Jibril menciptakan situasi di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat mengajarkan prinsip-prinsip dasar Islam secara terbuka di depan para sahabat. Ini menunjukkan sikap seorang penuntut ilmu yang tidak hanya mencari pengetahuan untuk dirinya sendiri, tetapi juga menyediakan kesempatan bagi orang lain untuk belajar.

Kedua, hadits ini mengajarkan tentang pentingnya pemahaman holistik dalam pendidikan agama. Islam, iman, dan ihsan adalah tiga komponen yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Pendidikan yang baik harus mencakup aspek lahiriah, batiniah, dan spiritual untuk menghasilkan individu yang utuh.

Ketiga, hadits ini menekankan nilai keteladanan dalam pendidikan. Jibril yang hadir dengan dua peran sekaligus menggambarkan kepada kita tentang sikap dan adab yang harus dimiliki

dalam kegiatan pembelajaran, baik sebagai seorang guru maupun sebagai seorang peserta didik. Beliau hadir dalam wujud yang sangat menarik dan berpenampilan rapi, menunjukkan bahwa penampilan dan perilaku di saat melakukan proses belajar-mengajar akan sangat mempengaruhi proses tersebut. Keteladanan dari pendidik akan menjadi inspirasi bagi peserta didik. Sebagaimana adab dan kesungguhan yang ditampilkan oleh peserta didik akan menjadikan suasana belajar mengajar lebih kondusif untuk sebuah hasil yang lebih maksimal.

Keempat, keberadaan Jibril sebagai seorang pembelajar yang merapatkan lututnya ke lutut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan tangannya ke atas pahanya mengandung beberapa nilai penting yang dapat diambil sebagai pelajaran dalam konteks adab belajar dan pendidikan:

  • Kedekatan dan Kehormatan: Tindakan Jibril yang mendekatkan dirinya secara fisik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kedekatan dan kehormatan yang tinggi terhadap guru atau sumber ilmu. Ini mencerminkan bahwa dalam menuntut ilmu, seorang murid harus menunjukkan rasa hormat dan penghargaan yang mendalam terhadap gurunya. Kedekatan ini juga memperlihatkan bahwa proses pembelajaran yang efektif memerlukan kedekatan emosional dan keterlibatan langsung antara guru dan murid.
  • Konsentrasi dan Perhatian Penuh: Posisi duduk yang dekat dan kontak fisik tersebut menunjukkan tingkat konsentrasi dan perhatian yang sangat tinggi dari Jibril terhadap apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam proses belajar, sangat penting bagi seorang murid untuk memberikan perhatian penuh dan memfokuskan diri pada materi yang diajarkan.
  • Adab dan Etika dalam Belajar: Sikap Jibril menunjukkan etika yang baik dalam belajar. Menyandarkan lutut dan meletakkan tangan di paha menunjukkan sikap rendah hati, tidak menyombongkan diri, dan kesiapan untuk menerima ilmu dengan hati yang terbuka. Etika ini mengajarkan bahwa seorang murid harus bersikap sopan, tenang, dan penuh adab dalam proses pembelajaran.
  • Interaksi Langsung dan Aktif: Tindakan ini juga menunjukkan pentingnya interaksi langsung dan aktif dalam proses pembelajaran. Dengan mendekat dan melakukan kontak fisik, Jibril menciptakan lingkungan belajar yang interaktif, di mana terjadi dialog dua arah antara guru dan murid. Ini memperlihatkan bahwa pembelajaran yang efektif melibatkan partisipasi aktif dan interaksi yang mendalam.
  • Menghargai Ilmu dan Guru: Kedekatan fisik dan sikap penuh perhatian yang ditunjukkan oleh Jibril mencerminkan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu dan sang guru. Ini mengajarkan pentingnya menghargai ilmu pengetahuan dan orang yang menyampaikannya. Menghargai guru adalah kunci untuk mendapatkan berkah dan manfaat maksimal dari ilmu yang dipelajari.
  • Kesiapan untuk Belajar: Posisi duduk yang dekat dan sikap penuh perhatian juga mencerminkan kesiapan Jibril untuk belajar. Ini menunjukkan bahwa seorang murid harus datang ke sesi pembelajaran dengan sikap yang siap menerima ilmu, baik secara fisik maupun mental. Kesiapan ini meliputi kesediaan untuk mendengarkan, bertanya, dan merenungkan apa yang diajarkan.

Kelima, hadits ini menggarisbawahi pentingnya menginternalisasi nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Ihsan sebagai puncak dari ajaran Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan harus dilandasi oleh kesadaran akan kehadiran Allah. Nilai ini mendorong individu untuk selalu berbuat baik dan menjunjung tinggi moralitas.

Relevansi Hadits Jibril dalam Pendidikan Modern

Relevansi hadits Jibril tidak lekang oleh waktu, bahkan dalam pendidikan modern. Metode pembelajaran yang dialogis dan interaktif, seperti yang dicontohkan dalam hadits ini, dapat merangsang pemikiran kritis dan reflektif peserta didik. Pemahaman konseptual yang mendalam tentang Islam, Iman, dan Ihsan akan memberikan landasan yang kokoh bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan. Selain itu, penekanan pada relevansi ajaran Islam dengan kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan motivasi belajar dan menjadikan pendidikan lebih bermakna.

Tidak hanya itu, nilai-nilai akhlak mulia dan kesadaran spiritual yang terkandung dalam hadits Jibril dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum dan metode pembelajaran. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya berfokus pada pengembangan intelektual, tetapi juga pembentukan karakter peserta didik yang berintegritas, berakhlak mulia, dan memiliki kesadaran spiritual yang tinggi.

Hadits Jibril adalah sumber inspirasi dan pedoman bagi umat Muslim dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Lebih dari itu, hadits ini juga merupakan khazanah yang kaya akan nilai-nilai pendidikan yang relevan sepanjang masa. Dengan menggali lebih dalam hikmah dari hadits ini, kita dapat merancang pendekatan pendidikan yang holistik, membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan berlandaskan nilai-nilai spiritual.

Daftar Rujukan

  1. Zain, M. I. (n.d.). Pelajaran dari Hadits Jibril. Al Binaa, 1(10).
  2. Muslim bin Al Hajjaj. (1334 H). Al Jaami’e As Shahih (Shahih Muslim). Daar At Thiba’ah Al ‘Aamirah.
  3. Muhammad bin Sholeh bin Muhammad ‘Al ‘Utsaimiin. (1431 H). Syarhu Al Arba’ien An Nawawiyyah. Daaru At Tsurayya li An Nasyr.
  4. ‘Athiyyah Saalim. Syarhu Al Arba’ien An Nawawiyyah. https://shamela.ws/book/7719/108
  5. Al Fawaaid Al Baidagoojiyyah fi Al Ahaadits An Nabawiyyah. https://www.alukah.net/social/0/129569/
20240822_112849_0000

Seri Esai Guru ke-5

MEMBANGUN KETELADANAN DARI GENERASI SALAFUS SHALIH

Oleh: Rayis Syamlan, S.T.

 

Setiap muslim in sya Allah sepakat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  adalah suri tauladan bagi umat manusia. Tidak akan ada seorang pun apalagi pendidik muslim yang mengingkarinya, bahkan yang sekuler pun mungkin tidak akan  berani secara terang-terangan menentangnya.  Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan hal ini dalam firman-Nya: Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah  (Al-Ahzab, 33:21).

Begitu juga jika disebutkan  meneladani salafus shalih, generasi awal umat ini,  kaum muslimin secara umum masih satu kata. Selain sekte Syiah Rafidhah maka kisah para sahabat Nabi masih banyak menjadi rujukan dalam dunia pendidikan dari berbagai kalangan. Namun, ketika disebutkan mengikuti jejak para salafus shalih  atau yang kita sering dengar dengan mengikuti manhaj salaf, di sinilah mulai terjadi perbedaan sudut pandang.

Tentu saja tulisan ini tidak akan mengupas apa dan bagaimana manhaj salaf karena hal itu membutuhkan pembahasan tersendiri dan para pembaca dapat merujuk lebih lanjut dari berbagai sumber yang sekarang sudah Allah mudahkan untuk mempelajarinya. Tulisan ini hanya akan sedikit mengetengahkan argumen yang menjadi pokok pembahasan tentang pendidikan karakter, yaitu  bahwa dalam pendidikan ada sesuatu yang dinamis dan ada juga yang statis. Sesuatu yang dinamis maka kembali kepada sabda Nabi sallallahu alaihi wassalam “antum a’lamu bi umuri dunyakum, engkau lebih tahu tentang urusan duniamu (Hadits riwayat Muslim dan Anas bin Malik 4358, bagian dari hadits yang panjang). Berinovasilah untuk hal-hal ini seluas-luasnya dalam metode terbarukan, penggunaan alat bantu pendidikan sampai aplikasi digital maupun penggunaan media sosial dan sebagainya.

Namun, ada perkara yang yang statis atau lebih tepat tidak berubah, dalam ilmu nahwu ada istilah mabni.  Dalam hal ini akan kembali  kepada sabda Nabi berikut. Dari Abdullah radiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang setelah mereka kemudian orang-orang yang setelah mereka. Kemudian akan datang sebuah kaum yang persaksian seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya. Ibrahim (salah satu perawi) berkata, dahulu mereka (para sahabat) memukul kami bila melanggar perjanjian dan persaksian (Hadits Riwayat Bukhari: 2458).

Kita sedang berbicara tentang pembentukan karakter, tentu ini seputar adab dan akhlak. Kenyataan menunjukkan disadari atau tidak bahwa ini adalah perkara yang memiliki standar yang cenderung tetap dan tidak berubah terutama dalam ajaran Islam. Islam tidak ada istilah revisi apalagi amandemen, sekali pun berkembang istilah fikih kontemporer, tetapi kaidah dasar telah tetap dan kokoh, agama ini telah sempurna. Demikian pula pendidikan adab dan akhlak atau mau kita gunakan dengan istilah karakter adalah tetap. (Sebenarnya dalam peristilahan pun penulis kurang setuju. Dr Adian Husaini mengupas panjang tentang adanya upaya pembelokan peristilahan ‘adab” yang justru  tercantum dalam dasar negara dan kata “akhlak” yang tercantum dalam  Undang-Undang,   dan tanpa disadari kita sudah terbawa).

Sebenarnya pengakuan bahwa perilaku generasi terdahulu kelihatan lebih baik dari sisi akhlak dan norma sosial adalah sesuatu yang kasat mata. Kita sering mendapati kalimat “dahulu kami diajari sopan santun seperti ini” atau “dahulu kami takut dan sangat hormat kepada guru”. Ada kecenderungan seseorang merasakan bahwa pendidikan pada masa lampau lebih baik pada beberapa sisi utamanya dari sisi pembentukan akhlak mulia. Bahkan masyarakat barat di luar Islam masih menggunakan busana yang lebih sopan pada zaman dahulu dibandingkan sekarang yang bisa kita lihat dari gambar-gambar tempo dulu. Tentu saja kita tidak akan mengatakan bahwa  masyarakat sekarang sudah pasti lebih buruk dari sebelumnya sebagai suatu keniscayaan karena yang demikian akan menganulir proses pendidikan yang sedang kita geluti. Saya hanya ingin mengatakan bahwa dalam aspek karakter nyaris ada kesepakatan bahwa standar masa lampau lebih baik dari yang sekarang, atau setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa pola pendidikan karakter adalah sesuatu yang dianggap tetap tolok ukurnya. Lantas  standar masa lampau yang mana yang akan kita jadikan rujukan. Inilah persoalan intinya.

Generasi yang telah mendapat rekomendasi  (tazkiah)  dari suri tauladan agung adalah tiga generasi pertama umat ini sehingga kita harus kokoh dalam hal ini jangan terpengaruh syubhat yang beredar. Benar, di awal tulisan ini saya katakan tidak ada yang menolak nabi sebagai suri tauladan, tetapi bukankah ajakan untuk kembali kepada salaf sering dicemooh dengan sebutkan “kita disuruh kembali ke zaman unta”. Ironisnya, pada saat yang lain sang pencemooh begitu fasih mengutip “kata bijak” dari Plato dan Aristoteles dari kaum penyembah berhala.

Mendidik akhlak berporos pada firman Allah dalam  surat Al Jumuah ayat 2:  Dialah  Allah) yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (sunah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Ayat yang semakna dengan ini disebutkan pula dalam beberapa surat lain di antaranya dalam Al-Baqarah dan Ali Imran . Inilah yang disebut dengan tarbiah (pendidikan) dan tashfiah (penyucian jiwa). Inilah metode Rasul yang diikuti para salaf dalam menyucikan jiwa.  Tarbiah bermuara pada Al-Qur’an dan Assunnah sedangkan  penyucian jiwa dimulai dari dari membersihkan diri dari kemusyrikan dan bid’ah.

Jika sudah benar jalan yang kita tempuh, janganlah menengok ke kiri dan ke kanan akibat silaunya syubhat dan tipu daya dunia. Kita mendidik manusia sesuai dengan tujuan pendidikan membentuk akhlak mulia bukan sekadar mengajari mereka mengejar mimpi dan cita-cita. Kegamangan kita akan manhaj yang haq ini telah menjadikan kita sibuk mencari berbagai sumber rujukan dan meninggalkan sumber dari segala sumber. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya ingin mengajak  sejawat  para pendidik apa pun bidang yang diampunya untuk memperkaya diri dengan mempelajari kehidupan para salafus shalih dan mengikuti jejak mereka dalam beragama. Inilah yang harus selalu kita transformasikan kepada para peserta didik di tengah derasnya gempuran arus informasi dari berbagai sumber yang tidak dapat mereka bendung. 

Sungguh mempelajari kehidupan para salaf, akan mendapatkan mutiara tak ternilai yang akan memperkaya cara pandang kita dalam banyak hal. Hampir semua ulama salaf yang menjadi rujukan umat adalah manusia yang paling bagus ibadahnya dan paling tinggi adabnya. Pantaslah yang demikian  itu karena mereka  adalah pewaris  nabi dan orang yang paling tinggi rasa takutnya kepada Allah sebagaimana disebut dalam QS Fathir: 28, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dari hamba-Nya adalah para Ulama. Nabi tidak  mewariskan harta dan mewariskan tahta dan kekuasaan,  Nabi mewariskan ilmu.”

Kita sekarang mendidik generasi milenial yang diistilahkan generasi Z dengan berbagai ciri khasnya yang sudah sering diungkap di berbagai media.  Generasi boleh berubah dan akan terus berubah. Namun, koordinat benchmarking (koordinat 0,0) sebagai tolok ukur suri tauladan   tidak akan berubah sepanjang masa dari yang disebutkan dalam Surat Al Ahzab: 21 yang disebut di awal tulisan ini. Inilah hikmahnya Allah telah mengutus manusia sempurna sebagai kriteria ideal, kemudian Rasulullah memberikan tazkiah (rekomendasi) kepada tiga generasi awal umat ini untuk menjadi rujukan bagi generasi selanjutnya.

Saudaraku,  mari kita renungkan nasihat Imam Darul Hijarah, Malik bin Anas (93—179 H),  “Tidak akan baik generasi akhir umat ini, kecuali dengan apa yang menjadikan generasi awalnya menjadi baik”. Imam Al Auza’i (88-157H) pun mewasiatkan, “Bersabarlah dalam menjalankan sunnah Nabi, berjalanlah pada jalan ulama salafus shalih, sesungguhnya yang demikian itu akan melapangkan jalanmu sebagaimana jalan itu telah melapangkan mereka. (Hilyatul Aulia, dikutip dari 60 Biografi Ulama Salaf Syaikh Ahmad Farid)

Mendidik adalah amal shalih yang dengannya kita berharap menjadi pemberat timbangan pada hari yang  tidak ada jual beli. Oleh karena itu, jadikanlah amal shalih ini semata-mata mengharap ridha Allah dan tidak sedikit pun mengharap balasan dunia karena yang demikian itu terlalu murah dan berpotensi membelokkan arah perjuangan. Masa panen ada di akhirat sedangkan dunia adalah ladang bercocok tanam.

Wallallahu waliyut taufiq

Universitas Madinah

Sosialisasi Universitas Madinah oleh Alumni Al Binaa

Mempersiapkan Santri untuk Pendidikan Internasional

Sosialisasi Universitas Madinah oleh Alumni Al Binaa

Albinaainframe- Juli 2024, Pondok Pesantren Al Binaa dengan bangga menggelar acara sosialisasi Universitas Madinah yang dipandu oleh para alumni Al Binaa yang kini sedang menempuh studi di Universitas Madinah. Acara ini berlangsung di Aula dan di Masjid Riyadhusholihin Pondok Pesantren Al Binaa dan dihadiri oleh para santri yang penuh antusiasme untuk mendapatkan wawasan dan motivasi dari pengalaman alumni.

Acara yang dimulai pukul 09.00 WIB ini dibuka dengan sambutan Ustadz Agung Wahyu Adhy, Lc. M.Pd. selaku Kepala Sekolah SMA IT Pondok Pesantren Al Binaa, yang mengungkapkan rasa bangganya terhadap para alumni yang berhasil menempuh pendidikan di Universitas Madinah. Beliau juga menekankan pentingnya acara ini dalam memberikan inspirasi dan panduan bagi para santri yang bercita-cita melanjutkan studi ke luar negeri.

Universitas Madinah

Dalam sesi utama, para alumni berbagi cerita tentang perjalanan mereka menuju Universitas Madinah, mulai dari proses pendaftaran, persyaratan yang harus dipenuhi, hingga tips dan trik menghadapi ujian seleksi. Mereka juga memberikan gambaran mengenai kehidupan akademik dan keseharian di Universitas Madinah, serta bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan baru yang penuh tantangan.

“Santri Al Binaa memiliki potensi besar untuk bersaing di kancah internasional. Kuncinya adalah persiapan yang matang dan semangat yang tidak pernah padam,” ujar salah satu alumni dalam presentasinya. Ia juga menekankan pentingnya manajemen waktu dan strategi belajar yang efektif sebagai modal utama untuk sukses di Universitas Madinah.

Universitas Madinah

Acara ini juga menyediakan sesi tanya jawab, di mana para santri bisa langsung bertanya mengenai berbagai hal yang ingin mereka ketahui, mulai dari detail proses pendaftaran hingga kehidupan sosial di Madinah. Pertanyaan yang diajukan mencerminkan semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi dari para santri, menunjukkan bahwa mereka sangat termotivasi untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi.

Manfaat dari acara sosialisasi ini sangat dirasakan oleh para santri. Selain mendapatkan inspirasi, mereka juga memperoleh informasi yang sangat berguna untuk mempersiapkan diri. Dengan mengetahui tips dan trik dari alumni, santri menjadi lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan yang akan mereka hadapi di masa depan.

Universitas Madinah

Acara ditutup dengan pesan motivasi dari para alumni, berharap agar para santri Al Binaa bisa mengikuti jejak mereka dan meraih sukses dalam pendidikan dan kehidupan. “Jangan pernah berhenti bermimpi dan berusaha. InsyaAllah, Allah akan memudahkan jalan bagi mereka yang bersungguh-sungguh,” kata salah satu alumni dalam pesan penutupnya.

Dengan diadakannya acara ini, Pondok Pesantren Al Binaa terus membuktikan komitmennya dalam mempersiapkan generasi muda Indonesia yang berpendidikan tinggi dan berwawasan global, sejalan dengan misi mereka dalam menyebarkan risalah dakwah melalui pendidikan yang berkualitas. Acara sosialisasi ini menjadi langkah nyata dalam mendukung santri Al Binaa untuk meraih masa depan yang gemilang.

Universitas Madinah
Alumni Santri AL BINAA, Zarfan Fawwaz Muhamad,

Meniti Prestasi, Alumni Santri AL BINAA, Lulus Tanpa Skripsi

Meniti Prestasi, Alumni Santri AL BINAA

Lulus Tanpa Skripsi, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh Kedokteran Jadi Sorotan

Bismillâh, alhamdulillâhi wa sholâtu wa salâmu alâ Rosûlillâhi wa alâ âlihi wa shohbihi ajma’ în

 

Albinaainframe – Alumni Santri AL BINAA, Zarfan Fawwaz Muhamad, mencatat prestasi gemilang dengan lulus tanpa skripsi di Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh.

Dia menjadi satu-saunya tmahasiswa yangmendapat ‘hadiah’ tersebut berkat dedikasi dan pencapaiannya di masa kuliah.

Zarfan, mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2020, menerima penghargaan tersebut setelah mengikuti yudisium bersama 189 ma

hasiswa lainnya.

Keistimewaannya adalah lulus tanpa beban skripsi, sebuah pencapaian luar biasa yang jarang ditemui.

“Penghargaan bebas skripsi diberikan langsung oleh pihak Fakultas Kedokteran.

Ini bukan hanya soal medali, tapi juga pertimbangan atas pencapaian yang luar biasa,” ujar Zarfan.

Perjalanan prestasinya dimulai saat mengikuti orientasi mahasiswa baru pada 2020. Terinspirasi oleh alumni yang meraih penghargaan serupa,

Zarfan memulai perjalanan eksplorasi ilmiahnya.

Pada 2021, meskipun menghadapi kegagalan dalam pengajuan proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), Zarfan tak menyerah.

Dia kembali muncul dengan gagasan brilian bersama timnya di PKM-KC, menciptakan alat detektor derajat keparahan COVID-19 dengan telemedicine asynchronous.

Keberhasilan tim ini tak berhenti di situ. Mereka meraih medali emas di PIMNAS ke-36 pada November 2023 dengan menciptakan alat Endoskop Oral Mucosal Lung Damage (EMERALD).

Pencapaiannya dalam ajang internasional Aceh Surgery Update Meeting semakin memantapkan posisinya sebagai calon dokter berprestasi.

Zarfan, dengan bangga, lulus tanpa skripsi dan siap melanjutkan pendidikan profesi dokter pada Maret 2024.

Prestasinya membuktikan bahwa semangat dan ketekunan adalah kunci kesuksesan. Untuk seluruh santri SMA IT AL BINAA,

Zarfan adalah inspirasi hidup bahwa setiap tantangan dapat diatasi dengan tekad dan dedikasi.

Mari bersama-sama mengejar mimpi dan mengukir prestasi gemilang!.