MEMBANGUN KETELADANAN DARI GENERASI SALAFUS SHALIH
Oleh: Rayis Syamlan, S.T.
Setiap muslim in sya Allah sepakat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah suri tauladan bagi umat manusia. Tidak akan ada seorang pun apalagi pendidik muslim yang mengingkarinya, bahkan yang sekuler pun mungkin tidak akan berani secara terang-terangan menentangnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan hal ini dalam firman-Nya: Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (Al-Ahzab, 33:21).
Begitu juga jika disebutkan meneladani salafus shalih, generasi awal umat ini, kaum muslimin secara umum masih satu kata. Selain sekte Syiah Rafidhah maka kisah para sahabat Nabi masih banyak menjadi rujukan dalam dunia pendidikan dari berbagai kalangan. Namun, ketika disebutkan mengikuti jejak para salafus shalih atau yang kita sering dengar dengan mengikuti manhaj salaf, di sinilah mulai terjadi perbedaan sudut pandang.
Tentu saja tulisan ini tidak akan mengupas apa dan bagaimana manhaj salaf karena hal itu membutuhkan pembahasan tersendiri dan para pembaca dapat merujuk lebih lanjut dari berbagai sumber yang sekarang sudah Allah mudahkan untuk mempelajarinya. Tulisan ini hanya akan sedikit mengetengahkan argumen yang menjadi pokok pembahasan tentang pendidikan karakter, yaitu bahwa dalam pendidikan ada sesuatu yang dinamis dan ada juga yang statis. Sesuatu yang dinamis maka kembali kepada sabda Nabi sallallahu alaihi wassalam “antum a’lamu bi umuri dunyakum, engkau lebih tahu tentang urusan duniamu (Hadits riwayat Muslim dan Anas bin Malik 4358, bagian dari hadits yang panjang). Berinovasilah untuk hal-hal ini seluas-luasnya dalam metode terbarukan, penggunaan alat bantu pendidikan sampai aplikasi digital maupun penggunaan media sosial dan sebagainya.
Namun, ada perkara yang yang statis atau lebih tepat tidak berubah, dalam ilmu nahwu ada istilah mabni. Dalam hal ini akan kembali kepada sabda Nabi berikut. Dari Abdullah radiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang setelah mereka kemudian orang-orang yang setelah mereka. Kemudian akan datang sebuah kaum yang persaksian seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya. Ibrahim (salah satu perawi) berkata, dahulu mereka (para sahabat) memukul kami bila melanggar perjanjian dan persaksian (Hadits Riwayat Bukhari: 2458).
Kita sedang berbicara tentang pembentukan karakter, tentu ini seputar adab dan akhlak. Kenyataan menunjukkan disadari atau tidak bahwa ini adalah perkara yang memiliki standar yang cenderung tetap dan tidak berubah terutama dalam ajaran Islam. Islam tidak ada istilah revisi apalagi amandemen, sekali pun berkembang istilah fikih kontemporer, tetapi kaidah dasar telah tetap dan kokoh, agama ini telah sempurna. Demikian pula pendidikan adab dan akhlak atau mau kita gunakan dengan istilah karakter adalah tetap. (Sebenarnya dalam peristilahan pun penulis kurang setuju. Dr Adian Husaini mengupas panjang tentang adanya upaya pembelokan peristilahan ‘adab” yang justru tercantum dalam dasar negara dan kata “akhlak” yang tercantum dalam Undang-Undang, dan tanpa disadari kita sudah terbawa).
Sebenarnya pengakuan bahwa perilaku generasi terdahulu kelihatan lebih baik dari sisi akhlak dan norma sosial adalah sesuatu yang kasat mata. Kita sering mendapati kalimat “dahulu kami diajari sopan santun seperti ini” atau “dahulu kami takut dan sangat hormat kepada guru”. Ada kecenderungan seseorang merasakan bahwa pendidikan pada masa lampau lebih baik pada beberapa sisi utamanya dari sisi pembentukan akhlak mulia. Bahkan masyarakat barat di luar Islam masih menggunakan busana yang lebih sopan pada zaman dahulu dibandingkan sekarang yang bisa kita lihat dari gambar-gambar tempo dulu. Tentu saja kita tidak akan mengatakan bahwa masyarakat sekarang sudah pasti lebih buruk dari sebelumnya sebagai suatu keniscayaan karena yang demikian akan menganulir proses pendidikan yang sedang kita geluti. Saya hanya ingin mengatakan bahwa dalam aspek karakter nyaris ada kesepakatan bahwa standar masa lampau lebih baik dari yang sekarang, atau setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa pola pendidikan karakter adalah sesuatu yang dianggap tetap tolok ukurnya. Lantas standar masa lampau yang mana yang akan kita jadikan rujukan. Inilah persoalan intinya.
Generasi yang telah mendapat rekomendasi (tazkiah) dari suri tauladan agung adalah tiga generasi pertama umat ini sehingga kita harus kokoh dalam hal ini jangan terpengaruh syubhat yang beredar. Benar, di awal tulisan ini saya katakan tidak ada yang menolak nabi sebagai suri tauladan, tetapi bukankah ajakan untuk kembali kepada salaf sering dicemooh dengan sebutkan “kita disuruh kembali ke zaman unta”. Ironisnya, pada saat yang lain sang pencemooh begitu fasih mengutip “kata bijak” dari Plato dan Aristoteles dari kaum penyembah berhala.
Mendidik akhlak berporos pada firman Allah dalam surat Al Jumuah ayat 2: Dialah Allah) yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (sunah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Ayat yang semakna dengan ini disebutkan pula dalam beberapa surat lain di antaranya dalam Al-Baqarah dan Ali Imran . Inilah yang disebut dengan tarbiah (pendidikan) dan tashfiah (penyucian jiwa). Inilah metode Rasul yang diikuti para salaf dalam menyucikan jiwa. Tarbiah bermuara pada Al-Qur’an dan Assunnah sedangkan penyucian jiwa dimulai dari dari membersihkan diri dari kemusyrikan dan bid’ah.
Jika sudah benar jalan yang kita tempuh, janganlah menengok ke kiri dan ke kanan akibat silaunya syubhat dan tipu daya dunia. Kita mendidik manusia sesuai dengan tujuan pendidikan membentuk akhlak mulia bukan sekadar mengajari mereka mengejar mimpi dan cita-cita. Kegamangan kita akan manhaj yang haq ini telah menjadikan kita sibuk mencari berbagai sumber rujukan dan meninggalkan sumber dari segala sumber. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya ingin mengajak sejawat para pendidik apa pun bidang yang diampunya untuk memperkaya diri dengan mempelajari kehidupan para salafus shalih dan mengikuti jejak mereka dalam beragama. Inilah yang harus selalu kita transformasikan kepada para peserta didik di tengah derasnya gempuran arus informasi dari berbagai sumber yang tidak dapat mereka bendung.
Sungguh mempelajari kehidupan para salaf, akan mendapatkan mutiara tak ternilai yang akan memperkaya cara pandang kita dalam banyak hal. Hampir semua ulama salaf yang menjadi rujukan umat adalah manusia yang paling bagus ibadahnya dan paling tinggi adabnya. Pantaslah yang demikian itu karena mereka adalah pewaris nabi dan orang yang paling tinggi rasa takutnya kepada Allah sebagaimana disebut dalam QS Fathir: 28, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dari hamba-Nya adalah para Ulama. Nabi tidak mewariskan harta dan mewariskan tahta dan kekuasaan, Nabi mewariskan ilmu.”
Kita sekarang mendidik generasi milenial yang diistilahkan generasi Z dengan berbagai ciri khasnya yang sudah sering diungkap di berbagai media. Generasi boleh berubah dan akan terus berubah. Namun, koordinat benchmarking (koordinat 0,0) sebagai tolok ukur suri tauladan tidak akan berubah sepanjang masa dari yang disebutkan dalam Surat Al Ahzab: 21 yang disebut di awal tulisan ini. Inilah hikmahnya Allah telah mengutus manusia sempurna sebagai kriteria ideal, kemudian Rasulullah memberikan tazkiah (rekomendasi) kepada tiga generasi awal umat ini untuk menjadi rujukan bagi generasi selanjutnya.
Saudaraku, mari kita renungkan nasihat Imam Darul Hijarah, Malik bin Anas (93—179 H), “Tidak akan baik generasi akhir umat ini, kecuali dengan apa yang menjadikan generasi awalnya menjadi baik”. Imam Al Auza’i (88-157H) pun mewasiatkan, “Bersabarlah dalam menjalankan sunnah Nabi, berjalanlah pada jalan ulama salafus shalih, sesungguhnya yang demikian itu akan melapangkan jalanmu sebagaimana jalan itu telah melapangkan mereka. (Hilyatul Aulia, dikutip dari 60 Biografi Ulama Salaf Syaikh Ahmad Farid)
Mendidik adalah amal shalih yang dengannya kita berharap menjadi pemberat timbangan pada hari yang tidak ada jual beli. Oleh karena itu, jadikanlah amal shalih ini semata-mata mengharap ridha Allah dan tidak sedikit pun mengharap balasan dunia karena yang demikian itu terlalu murah dan berpotensi membelokkan arah perjuangan. Masa panen ada di akhirat sedangkan dunia adalah ladang bercocok tanam.
Wallallahu waliyut taufiq