Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada

Visit Kampus Santri Kelas 12 SMA IT AL BINAA ke Universitas Gadjah Mada (UGM)

Inspirasi Menuju Masa Depan yang Cemerlang

Albinaainframe- Pernahkah Anda membayangkan berjalan di antara gedung-gedung megah Universitas Gadjah Mada (UGM), sebuah kampus terkemuka yang telah melahirkan banyak tokoh penting di Indonesia? Itulah yang dirasakan oleh santri kelas 12 SMA IT AL BINAA saat mengunjungi kampus ini. Bukan sekadar kunjungan, tetapi pengalaman berharga yang menumbuhkan semangat dan membuka wawasan mereka tentang dunia perkuliahan. Kegiatan ini diharapkan menjadi langkah awal yang akan membawa santri pada perjalanan panjang menuntut ilmu, hingga mereka siap menjadi generasi berilmu dan berjiwa Islami.

Mengapa Melanjutkan Pendidikan Tinggi di UGM?

Universitas Gadjah Mada

Siap-siap untuk menyelami lebih dalam alasan pentingnya pendidikan tinggi! Di UGM, santri tidak hanya disuguhkan dengan kemegahan kampus, tetapi juga mendapatkan gambaran tentang beragam program studi yang ada. Program studi di UGM mencakup berbagai bidang, dari ilmu sosial hingga sains dan teknologi, serta banyak pilihan lainnya. Bayangkan jika Anda berada di posisi mereka, menyaksikan begitu banyak pilihan yang bisa membantu meraih cita-cita!

Melalui kunjungan ini, santri mulai memahami bahwa pendidikan tinggi adalah kunci untuk berkontribusi lebih besar kepada masyarakat. Mereka sadar bahwa setiap ilmu yang kelak mereka pelajari bisa menjadi bekal untuk membangun bangsa. Inilah salah satu visi yang ditanamkan SMA IT AL BINAA kepada santri—bahwa pendidikan tinggi bukan sekadar impian pribadi, melainkan tanggung jawab besar yang bisa membawa manfaat bagi orang banyak.

Mengenal Berbagai Program Studi: Menemukan Jalan Menuju Cita-Cita

Universitas Gadjah Mada

Di UGM, santri mendapat kesempatan untuk mengenal berbagai program studi yang tersedia. Mulai dari Fakultas Hukum, Ekonomi, Teknik, hingga Kedokteran, setiap jurusan membuka peluang besar di masa depan. Pernahkah Anda berpikir, jurusan apa yang akan Anda pilih jika diberi kesempatan? Momen ini adalah kesempatan bagi santri untuk bertanya, menggali informasi langsung dari mahasiswa dan dosen, serta mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang setiap bidang.

Bayangkan, betapa beruntungnya santri yang kini semakin yakin dengan pilihan mereka. Berkat kunjungan ini, mereka bisa membayangkan peran mereka di masa depan, dan bagaimana ilmu yang mereka pilih bisa membawa mereka menuju kesuksesan. Semakin menarik, bukan?

Pendidikan Tinggi sebagai Bekal Kontribusi Nyata untuk Masyarakat

Universitas Gadjah Mada

Pendidikan tinggi tidak hanya memberi bekal ilmu, tetapi juga menanamkan tanggung jawab untuk berkontribusi pada masyarakat. Kunjungan ke UGM ini menginspirasi santri untuk melihat pendidikan sebagai sarana pengabdian. Apa yang akan Anda lakukan jika memiliki ilmu yang bisa memberi manfaat besar? Santri diajak untuk merenungi hal ini, menyadari bahwa mereka punya potensi besar untuk membawa perubahan positif.

Dengan pandangan ini, SMA IT AL BINAA berharap santri akan tumbuh menjadi sosok yang berwawasan luas, peduli, dan mampu membawa perubahan. Setiap ilmu yang kelak mereka peroleh adalah amanah yang harus diemban dengan tanggung jawab.

Menginspirasi Generasi Intelektual Berjiwa Islami

Universitas Gadjah Mada

Universitas Gadjah Mada, dengan segala kemegahannya, menjadi inspirasi yang kuat bagi santri untuk melanjutkan pendidikan tinggi dengan tetap memegang nilai-nilai Islami. AL BINAA ingin membentuk generasi yang tidak hanya cerdas dalam ilmu, tetapi juga kokoh dalam akhlak dan iman. Santri diajak untuk selalu ingat bahwa ilmu dan agama harus berjalan beriringan. Siap-siap untuk menjadi generasi intelektual yang berjiwa Islami, yang akan menjadi kebanggaan bagi keluarga dan masyarakat!

Ayo, Bersama Kami di AL BINAA, Wujudkan Masa Depan yang Berilmu dan Berakhlak Mulia!

Visit kampus ini hanyalah langkah awal bagi santri kelas 12 SMA IT AL BINAA dalam perjalanan menuju pendidikan tinggi. Bagi Anda yang ingin anak-anak Anda mendapatkan pendidikan yang berimbang antara ilmu dunia dan nilai agama, AL BINAA adalah tempat yang tepat. Di sini, setiap kegiatan didesain untuk membentuk generasi yang cerdas, berakhlak, dan siap mengabdi. Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda juga ingin anak Anda merasakan pengalaman inspiratif seperti ini?

Tulis pendapat Anda di kolom komentar atau bagikan cerita serupa! Mari bersama-sama membangun generasi yang berilmu dan berakhlak mulia.

UPN Veteran Yogyakarta

Visit Kampus UPN Veteran Yogyakarta

Visit Kampus Santri Kelas 12 SMA IT AL BINAA ke UPN Veteran Yogyakarta

Inspirasi untuk Masa Depan yang Berilmu dan Berakhlak

Albinaainframe- Bayangkan suasana penuh semangat ketika santri kelas 12 SMA IT AL BINAA melangkah masuk ke UPN Veteran Yogyakarta. Ada senyum, kekaguman, dan rasa penasaran “Seperti apa ya kehidupan di kampus nanti?” Pertanyaan itu berputar di benak mereka, mengiringi langkah pertama mereka menuju pengalaman yang akan membuka cakrawala baru tentang pendidikan tinggi dan masa depan.

Kunjungan ke UPN Veteran Yogyakarta ini bukan sekadar tour. Ini adalah bagian dari upaya pondok pesantren untuk menyiapkan generasi berilmu yang tak hanya cerdas, tetapi juga berjiwa Islami. Di sini, santri tak hanya mengenal program studi yang ditawarkan, tapi juga merasakan suasana akademik, bertemu dosen, bahkan mendapat gambaran nyata tentang kehidupan kampus. Bayangkan jika ini adalah langkah awal menuju masa depan mereka—sebuah pertemuan dengan mimpi-mimpi yang mungkin sudah lama tersimpan.

Mengapa Harus Melanjutkan Pendidikan Tinggi?

UPN Veteran Yogyakarta

Pernahkah Anda berpikir tentang pentingnya pendidikan tinggi? Di kampus, santri diajak untuk memahami bahwa kuliah bukan hanya tentang duduk di kelas dan belajar teori. Ini adalah tentang mengasah cara berpikir, menggali potensi, dan mempersiapkan diri menjadi seseorang yang kelak dapat membawa manfaat besar bagi lingkungan dan masyarakat.

Kunjungan ini membangun kesadaran bahwa dunia kampus adalah ladang untuk belajar, mengembangkan bakat, dan mengukir prestasi. Tak heran, banyak santri yang pulang dengan semangat baru—mereka tak hanya ingin berkuliah, tapi juga ingin berkontribusi lebih besar setelahnya. Siap-siap untuk melihat bagaimana santri-santri ini kelak menjadi intelektual muda yang menginspirasi!

Mengenal Berbagai Program Studi: Jalan Menuju Cita-Cita

Universitas Gadjah Mada

Di UPN Veteran Yogyakarta, santri diajak mengenal berbagai program studi yang mungkin selama ini hanya mereka dengar dari cerita atau media sosial. Ilmu Komunikasi, Teknik Informatika, Manajemen, Hukum, Pertanian, dan banyak lagi! Program-program studi ini ternyata jauh lebih menarik saat mereka mengetahui peran besar yang bisa mereka mainkan di masa depan.

Bayangkan jika Anda berada di posisi mereka—tertarik pada suatu bidang, tapi masih ragu tentang pilihannya. Melalui kunjungan ini, banyak santri yang mendapat jawaban atas keraguan mereka. Mereka bisa bertanya langsung kepada mahasiswa atau dosen, menggali informasi, dan mendapatkan gambaran nyata tentang peluang karier di masa depan. Tentu saja, ini menambah keyakinan mereka dalam memilih jalur yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.

Pendidikan Tinggi: Bekal untuk Kontribusi Nyata bagi Masyarakat

Bukan hanya tentang diri sendiri, pendidikan tinggi yang diraih santri kelak adalah bekal untuk berkontribusi nyata bagi masyarakat. Pernahkah Anda berpikir, apa yang akan Anda lakukan jika memiliki ilmu yang bermanfaat? Kunjungan ini menginspirasi santri untuk melihat pendidikan tinggi bukan sekadar untuk kepentingan pribadi, tetapi juga sebagai amanah untuk memberikan manfaat bagi sekitar. Mereka diajak untuk menjadi generasi intelektual yang peduli, yang tidak hanya mengejar karier, tetapi juga membangun lingkungan yang lebih baik.

Bayangkan bagaimana masyarakat kita jika dipenuhi generasi yang tak hanya berilmu, tapi juga berjiwa sosial, penuh empati, dan peduli pada sesama. Inilah visi besar yang ingin dibangun melalui kunjungan edukatif seperti ini. Santri diharapkan memiliki pandangan yang luas tentang bagaimana ilmu yang mereka pelajari nanti bisa mengubah dunia.

Menginspirasi Generasi Intelektual Berjiwa Islami

Kampus bukan sekadar tempat untuk belajar, tetapi juga tempat untuk membangun karakter. Kunjungan ini diharapkan menginspirasi santri agar tetap membawa nilai-nilai Islami saat menuntut ilmu di bangku perkuliahan. AL BINAA berkomitmen untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kokoh dalam akhlak dan nilai-nilai Islam. Dengan pondasi yang kuat ini, santri diharapkan mampu menjadi sosok yang berkarakter kuat, siap menghadapi tantangan zaman dengan penuh integritas.

Ingin Merasakan Inspirasi yang Sama?

Rangkaian kunjungan ini hanyalah salah satu dari banyak kegiatan di SMA IT AL BINAA yang bertujuan untuk membentuk generasi muda yang berilmu, berakhlak, dan siap mengabdi. Jadi, bagaimana menurut Anda? Apa yang akan Anda lakukan jika diberi kesempatan yang sama? Berikan komentar Anda atau bagikan cerita tentang pengalaman inspiratif serupa!

Siap untuk masa depan yang penuh inspirasi? Mari bergabung di Pesantren AL BINAA dan jadilah bagian dari generasi yang akan membangun masa depan bangsa dengan ilmu dan akhlak yang mulia.

MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALOGI

PENERAPAN NILAI-NILAI ISLAMI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

PENERAPAN NILAI-NILAI ISLAMI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN METODE ANALOGI

Ustadz Alif Rezky, M.Pd., Guru SMA

PENERAPAN NILAI-NILAI ISLAMI DALAM PEMBELAJARAN

Albinaainframe-Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan untuk membantu seseorang dalam membentuk pandangan yang benar terhadap kehidupannya. Tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki akhlak, baik dalam skala individu maupun masyarakat. Hakikatnya, proses pendidikan sendiri tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran. Seseorang dapat memperluas wawasannya dan memperoleh ilmu pengetahuan melalui proses pendidikan. Sementara itu, guru maupun calon pendidik memberikan ilmu pengetahuan sebagai bekal siswa dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan melalui proses pembelajaran.

            Dalam praktik pembelajaran khususnya pada pelajaran Matematika, teknik meminjam masih menjadi andalan guru ketika satuan bilangan yang dikurangi kurang dari satuan bilangan yang mengurangi. Teknik meminjam yang diajarkan ada dua, yaitu teknik satu kali meminjam dan dua kali meminjam. Mari perhatikan proses pengerjaan soal 173 – 19 secara bersusun dengan teknik meminjam berikut.

Langkah 1

3 dikurangi 9 tidak bisa karena tidak cukup. Maka pinjam ke 4 (puluhan) sebanyak 1 (puluhan)

173

  19 –

Langkah 2

Menulis 1 di dekat 3 dan mencoret 2 lalu menulis 1

11713

    19 –

Langkah 3

Menghitung

13 – 9 = 4

3 – 1 = 2

1 – 0 = 1

Diperoleh hasil 124

11713

    19 –

  154

Pada proses menghitung di atas dapat dilihat bahwa siswa sudah diajari suatu kalimat penting yaitu “jika tidak cukup maka pinjam” yang dapat diartikan sebagai “jika tidak cukup maka hutang”. Secara tidak langsung siswa sudah diajari “jika tidak cukup maka pinjam” atau senada dengan “jika tidak cukup, minta”. Bukankah ini secara tidak langsung akan mengarahkan siswa untuk menjadi tukang pinjam, tukang hutang, atau tukang meminta?

            Islam tidak melarang pinjam-meminjam. Bahkan ulama menyatakan bahwa memberi pinjaman lebih utama daripada memberi sedekah karena adanya faktor kebutuhan. Islam justru melarang untuk meminta-minta jika tanpa kebutuhan atau hanya untuk memperkaya diri. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah ﷺ, “Barangsiapa meminta-minta (kepada orang lain) tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah dia memakan bara api” (Hadits Riwayat Imam Ahmad).

Islam justru menganjurkan untuk menjadi pemberi, bukan untuk menjadi penerima atau peminta-minta. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ, “Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (menerima/meminta)” (Muttafaqun ‘alaih). Hubungannya dengan contoh operasi pengurangan di atas adalah mengapa siswa diajarkan teknik meminjam sementara banyak teknik lain yang dapat diajarkan dalam operasi pengurangan. Salah satu teknik yang bisa digunakan adalah dengan metode analogi. Analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang

satu bukan yang lain, tetapi dua hal yang berbeda itu dibandingkan satu dengan yang lain. Dalam analogi yang dicari adalah kesamaan dari dua hal yang berbeda lalu menarik kesimpulan atas dasar kesamaan itu.

            Analogi sangat penting karena dapat menggambarkan suatu ide abstrak menjadi lebih mudah dipahami dan diterima. Metode analogi ini tentunya perlu dilakukan umat Islam untuk menjelaskan nilai-nilai Islami melalui Matematika dan pembelajaran Matematika. Penerapan nilai-nilai Islami pada bahasan pengurangan di atas bisa menggunakan beberapa analogi selain pinjam-meminjam.

Menurut Sugatte dalam Abdussakir (2017), beberapa teknik operasi pengurangan yang dapat diajarkan kepada siswa, yaitu (1) menghitung terus, (2) memberi dan sama, (3) metode anak cerdas, (4) notasi yang diperluas, (5) dekomposisi pengurangan, dan (6) pinjam dan bayar. Kalau diperhatikan, teknik meminjam diletakkan sebagai opsi paling terakhir. Selain itu, bukan hanya meminjam, melainkan juga diajarkan membayar. Hal ini kontradiktif dengan buku-buku matematika yang ada di pasaran, siswa dikenalkan dengan teknik meminjam, tetapi tidak dikenalkan untuk membayar pinjaman. Oleh karena itu, tidak salah jika teknik yang diperkenalkan Sugatte lebih Islami daripada buku-buku matematika yang hanya mengajarkan teknik meminjam saja.

Pada teknik memberi dan sama, pengerjaan soal 173 – 19 dapat dikerjakan sebagai berikut.

Langkah 1

3 dikurangi 9 tidak bisa karena tidak cukup. Maka 9 dibawa ke puluhan terdekat

173

  19 –

Langkah 2

9 diberi 1 menjadi 10.

Karena 9 sudah diberi 1, maka 3 juga harus sama diberi 1 menjadi 4.

173    + 1 = 174

  19 –  + 1 =   20 –

Langkah 3

Menghitung 174 dikurangi 20.

Dari 174, 20 diambil.

Diperoleh 154

174

   20 –

  154

 

Pada pengerjaam di atas, kalimat tidak cukup maka pinjam tidak ada lagi. Justru yang ada adalah sebutan memberi dan sama. Jika siswa dibiasakan sering mendengar kalimat “memberi dan sama”, maka secara tidak langsung akan mendidik siswa untuk menjadi seorang yang dermawan dan adil.

            Terkait dengan hadis Nabi ﷺ, bahwa “Tangan yang di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (menerima/meminta)”, ada satu teknik dalam pengurangan yang dapat diajarkan, yaitu teknik membantu. Dalam teknik ini, bukan yang tidak cukup yang meminta/meminjam ke yang cukup, tetapi yang cukup justru memberi bantuan ke yang tidak cukup. Dengan teknik membantu, pengerjaan soal
173 – 19 dapat dikerjakan sebagai berikut.

Langkah 1

3 dikurangi 9 tidak bisa karena tidak cukup.

Karena 4 mampu, maka 4 memberi 1 (puluhan) ke 3

173

  19 –

Langkah 2

Menulis 1 di dekat 3 dan mencoret 2 lalu

menulis 1

11713

    19 –

Langkah 3

Menghitung

13 – 9 = 4

6 – 1 = 5

1 – 0 = 1

Diperoleh hasil 154

 

11713

    19 –

  154

Langkah pengerjaan pada teknik membantu tidak ada bedanya dengan contoh pertama pada teknik meminjam. Hanya perbedaannya terletak pada penggunaan kalimat “tidak cukup maka pinjam” sudah tidak ada lagi. Nilai positif yang diajarkan kepada siswa dengan teknik membantu ini adalah ketika ada yang tidak berkecukupan, maka yang mampu segera membantu. Bahkan sebelum yang tidak mampu meminta bantuan/pinjaman maka yang mampu sebaiknya segera membantu. Inilah satu contoh penerapan nilai-nilai Islami melalui pembelajaran matematika.

Beberapa kajian terkait penerapan nilai-nilai Islami dalam pembelajaran matematika telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Abdussakir (2005, 2006, 2007, 2009) mulai mencoba mengenalkan konsep integrasi matematika dan Islam serta internalisasi nilai-nilai Islam melalui analogi dan interpretasi pada konsep-konsep Matematika. Rezky (2019) membahas upaya menumbuhkembangkan akhlak mulia siswa SMK Negeri 10 Makassar dengan menggunakan aplikasi Masa Matriks yang mengintegrasikan materi Matriks dengan analogi jual beli dalam Islam dalam bentuk animasi dan kalkulator matriks.

            Mari memperhatikan satu lagi contoh penerapan nilai-nilai Islami pada operasi penjumlahan bilangan bulat berikut.

  1. 11 + 6 = 17, positif 11 ketika ditambah dengan positif 6 menghasilkan bilangan positif yang lebih dari 11.
  2. 11 + (-6) = 5, positif 11 ketika ditambah dengan negatif 6 menghasilkan bilangan yang kurang dari 11.
  3. -11 + 6 = -5, negatif 11 ketika ditambah dengan positif 6 menghasilkan bilangan yang lebih dari -11.
  4. -11 + (-6) = -17, negatif 11 ketika ditambah dengan negatif 6 menghasilkan bilangan yang kurang dari -11.

Kesimpulan analogi yang dapat dilakukan adalah

  1. Kebaikan demi kebaikan yang dilakukan seseorang akan menghasilkan nilai kebaikan yang lebih besar dari kebaikan semula.
  2. Kebaikan yang diikuti dengan keburukan akan mengurangi nilai kebaikan yang pernah dilakukan seseorang.
  3. Keburukan yang diikuti dengan kebaikan akan mengurangi nilai keburukan yang pernah dilakukan seseorang.
  4. Keburukan demi keburukan yang dilakukan seseorang akan menghasilkan nilai keburukan yang lebih besar dari keburukan semula.

Oleh karena itu, seorang muslim dituntun untuk selalu melakukan kebaikan setelah sempat melakukan keburukan untuk menghapuskannya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah ﷺ dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdurrahman, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, maka kebaikan itu pasti akan menghapuskannya dan bergaullah terhadap sesama manusia dengan akhlak yang baik” (Hadits Riwayat Tirmidzi, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih).

            Strategi analogi memberikan manfaat tersendiri dalam upaya menerapkan nilai-nilai Islami pada siswa dalam pembelajaran matematika. Beberapa contoh yang diberikan masih sangat terbatas karena hanya pada bahasan bilangan dan operasinya. Harapan dari penulis semoga Allah memberikan kemudahan kepada pembaca agar dapat mengembangkan analogi-analogi yang lain untuk menerapkan nilai-nilai Islami kepada siswa dalam pembelajaran matematika.

Daftar Rujukan

Abdussakir. 2005. “Matematika dan al-Qur’an”. Disajikan pada Seminar Integrasi Matematika, al-Qur‟an dan Kehidupan Sosial, 3 Agustus 2005, Topografi Komando Daerah Militer V Brawijaya, Malang.

Abdussakir. 2006. Ada Matematika dalam Al-Qur’an. Malang: UIN-Maliki Press.

Abdussakir. 2007. Ketika Kyai Mengajar Matematika. Malang: UIN-Maliki Press.

Abdussakir. 2009. Matematika 1: Kajian Integratif Matematika dan Al-Qur’an. Malang: UIN-Maliki Press.

Abdussakir. 2017. “Internalisasi Nilai-Nilai Islami dalam Pembelajaran Matematika dengan Strategi Analogi”. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim.

Rezky, Alif. 2019. “Meningkatkan Pemahaman Konsep Matriks dengan Menggunakan Media Visualisasi Komputer sebagai Upaya Menumbuhkembangkan Akhlak Mulia Siswa SMK Negeri 10 Makassar”. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Teknologi informasi

Pendidikan Islam

MEWUJUDKAN PEMBELAJARAN YANG BERORIENTASI PADA PEMBENTUKAN KARAKTER ISLAMI DALAM ERA KECERDASAN BUATAN

Ustadz Deddy, S.E., Guru dan Staf SMP – SMA

KARAKTER ISLAMI DALAM ERA KECERDASAN BUATAN

Albinaainframe- Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam membentuk karakter dan kepribadian individu.

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam membentuk karakter dan kepribadian individu. Dalam konteks pendidikan Islam, tujuan utamanya adalah menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang sesuai dengan ajaran Islam. Nilai-nilai Islami seperti kejujuran, tanggung jawab, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama sangat penting untuk ditanamkan sejak dini. Namun, pada era modern ini, teknologi informasi dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, sehingga integrasi antara pendidikan karakter Islami dan pembelajaran teknologi informasi menjadi sangat relevan dan penting.

B. Tantangan dalam Pembelajaran Karakter Islami

Pembelajaran karakter Islami pada era digital menghadapi berbagai tantangan. Pertama, akses mudah terhadap informasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami dapat memengaruhi pembentukan karakter peserta didik. Informasi yang tersebar luas di internet tidak selalu terkontrol dan sering kali mengandung konten yang bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, kemajuan teknologi yang cepat sering kali tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam tentang etika dan moralitas. Peserta didik mungkin menjadi sangat mahir dalam penggunaan teknologi, tetapi kurang memiliki pemahaman tentang bagaimana menggunakan teknologi tersebut dengan bijak dan bertanggung jawab. Ketiga, kurangnya model pembelajaran yang mengintegrasikan teknologi dengan nilai-nilai Islami membuat pendidikan karakter sering kali terpisah dari pembelajaran teknologi informasi.

C. Integrasi Pendidikan Karakter Islami dan Teknologi Informasi

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan pendekatan integratif yang menggabungkan pembelajaran teknologi informasi dengan pendidikan karakter Islami. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan.

  1. Pengembangan Kurikulum Terpadu

Kurikulum harus dirancang sedemikian rupa sehingga pembelajaran teknologi informasi tidak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga mencakup nilai-nilai Islami. Misalnya, dalam pembelajaran pemrograman, peserta didik dapat diajarkan tentang etika dalam penggunaan teknologi dan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk kebaikan umat manusia. Kurikulum terpadu ini dapat mencakup studi kasus yang relevan, diskusi tentang implikasi etis dari teknologi, serta proyek-proyek yang mempromosikan nilai-nilai Islami.

  1. Penerapan Teknologi dalam Pembelajaran

Penggunaan teknologi, seperti aplikasi pembelajaran berbasis AI dapat membantu dalam pembelajaran karakter Islami. Aplikasi ini dapat menyediakan konten yang interaktif dan menarik, serta memungkinkan pemantauan perkembangan karakter peserta didik secara lebih efektif. Misalnya, aplikasi pembelajaran dapat menyertakan fitur kuis atau permainan edukatif yang menguji pemahaman peserta didik tentang nilai-nilai Islami, serta memberikan umpan balik yang konstruktif.

  1. Pembelajaran Berbasis Proyek

Pembelajaran berbasis proyek dapat digunakan untuk mengintegrasikan teknologi informasi dan karakter Islami. Misalnya, peserta didik dapat diajak untuk mengembangkan proyek teknologi yang bertujuan untuk membantu komunitas, seperti aplikasi yang memfasilitasi penggalangan dana untuk amal atau platform edukasi yang menyebarkan nilai-nilai Islami. Proyek semacam ini tidak hanya meningkatkan keterampilan teknis peserta didik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai seperti kepedulian sosial dan tanggung jawab.

  1. Peningkatan Kompetensi Guru

Guru harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam bidang teknologi informasi serta pemahaman yang mendalam tentang karakter Islami. Pelatihan dan workshop yang berfokus pada integrasi teknologi dan pendidikan karakter Islami sangat penting untuk meningkatkan kompetensi guru. Guru yang kompeten dapat menjadi teladan yang baik bagi peserta didik dan mampu mengajarkan nilai-nilai Islami melalui penggunaan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab

D. Peran Kecerdasan Buatan dalam Pembelajaran Karakter Islami

Kecerdasan buatan memiliki potensi besar dalam mendukung pembelajaran karakter Islami. Berikut adalah beberapa cara di mana AI dapat digunakan:

  1. Personalisasi Pembelajaran

AI dapat digunakan untuk mempersonalisasi pembelajaran, sehingga setiap peserta didik mendapatkan materi yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan karakter mereka. Dengan menggunakan algoritma pembelajaran mesin, AI dapat menganalisis data peserta didik dan memberikan rekomendasi materi yang sesuai. Misalnya, peserta didik yang menunjukkan ketertarikan lebih pada topik tertentu dapat diberikan materi tambahan yang lebih mendalam tentang topik tersebut.

  1. Pengembangan Konten Interaktif

AI dapat digunakan untuk mengembangkan konten pembelajaran yang interaktif dan menarik. Misalnya, chatbot berbasis AI dapat digunakan untuk memberikan pembelajaran tentang nilai-nilai Islami melalui percakapan yang menarik dan interaktif. Chatbot ini dapat menjawab pertanyaan peserta didik secara real-time, memberikan penjelasan yang jelas tentang konsep-konsep tertentu, dan menyajikan skenario yang membantu peserta didik memahami implikasi praktis dari nilai-nilai Islami.

  1. Pemantauan dan Evaluasi

AI dapat membantu dalam pemantauan dan evaluasi perkembangan karakter peserta didik. Dengan menggunakan teknik analisis data, AI dapat mengidentifikasi area peningkatan peserta didik dan memberikan umpan balik yang tepat waktu. Misalnya, sistem AI dapat melacak partisipasi peserta didik dalam aktivitas yang berhubungan dengan karakter Islami dan memberikan laporan kepada guru dan orang tua tentang kemajuan mereka.

  1. Simulasi dan Gim Edukasi.

AI dapat digunakan untuk mengembangkan simulasi dan gim edukasi yang mengajarkan nilai-nilai Islami. Gim ini dapat dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat belajar tentang etika dan moralitas dalam konteks yang menyenangkan dan interaktif. Misalnya, gim yang menyimulasikan situasi kehidupan nyata peserta didik ketika harus membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai Islami dapat menjadi alat yang efektif untuk mengajarkan pemahaman praktis tentang konsep-konsep tersebut.

Terima kasih kepada para guru, orang tua, dan semua pihak yang telah mendukung dan mendoakan kesuksesan mereka. Semoga langkah mereka di perguruan tinggi semakin sukses dan membawa manfaat bagi bangsa dan negara.

E. Implementasi dan Studi Kasus

Implementasi strategi di atas memerlukan kerjasama antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat. Beberapa studi kasus menunjukkan keberhasilan integrasi teknologi informasi dan pendidikan karakter Islami. Misalnya, di beberapa sekolah di Indonesia, telah diterapkan program pembelajaran berbasis teknologi yang juga mengajarkan nilai-nilai Islami melalui modul-modul interaktif.

Salah satu contoh adalah penggunaan platform pembelajaran digital yang mengintegrasikan kurikulum Islami dengan teknologi. Platform ini tidak hanya menyediakan materi pembelajaran umum, tetapi juga konten yang mengajarkan akhlak dan nilai-nilai Islami. Melalui platform ini, peserta didik dapat belajar tentang pentingnya kejujuran, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap sesama melalui berbagai aktivitas interaktif dan permainan edukatif.

Contoh lainnya adalah inisiatif dari beberapa universitas Islam yang telah mulai mengembangkan aplikasi AI yang dirancang khusus untuk pembelajaran karakter Islami. Aplikasi ini menggunakan algoritma pembelajaran mesin untuk menyesuaikan materi pembelajaran dengan kebutuhan individu peserta didik, serta menyediakan umpan balik yang konstruktif untuk membantu mereka berkembang.

F. Kesimpulan

Pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan karakter Islami dalam era kecerdasan buatan memerlukan pendekatan integratif yang menggabungkan nilai-nilai Islami dengan teknologi informasi. Dengan mengembangkan kurikulum terpadu, menerapkan teknologi dalam pembelajaran, menggunakan pembelajaran berbasis proyek, dan meningkatkan kompetensi guru, pendidikan karakter Islami dapat diintegrasikan secara efektif dengan pembelajaran teknologi informasi. Kecerdasan buatan memiliki peran penting dalam mendukung pembelajaran ini melalui personalisasi pembelajaran, pengembangan konten interaktif, pemantauan dan evaluasi, serta simulasi dan game edukasi. Implementasi strategi ini memerlukan kerjasama antara berbagai pihak untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga memiliki karakter Islami yang kuat.

Dengan demikian, pendidikan karakter Islami yang terintegrasi dengan teknologi informasi dan kecerdasan buatan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam menciptakan generasi yang mampu menghadapi tantangan era digital dengan sikap yang bijak, etis, dan bertanggung jawab. Di masa depan, diharapkan akan semakin banyak inovasi dan penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan nilai-nilai Islami, sehingga pendidikan karakter Islami dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang pesat.

BELAJAR ENTERTAINMENT

KONSEP BELAJAR PESANTREN AL BINAA

KONSEP BELAJAR ENTERTAINMENT EDUCATION DI KELAS DAN LINGKUNGAN PESANTREN AL BINAA ISLAMIC BOARDING SCHOOL

Ustadz M.S. Haromain, S.I.Kom.

Pesantren telah memberikan kontribusi positif yang signifikan bagi perkembangan zaman dan negara

Albinaainframe- Pondok Pesantren Al Binaa Islamic Boarding School adalah lembaga pendidikan modern dengan nuansa religi yang tetap bertahan hingga saat ini. Sebagai institusi pendidikan, pesantren ini memegang peran yang sangat penting dalam memberikan pemahaman agama yang mendalam. Dengan demikian, pesantren tersebut memiliki kontribusi sentral dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang mereka berikan. Sebagai lembaga pendidikan nonformal dengan nuansa pendidikan modern religius, pesantren telah memberikan kontribusi positif yang signifikan bagi perkembangan zaman dan negara. Pesantren tidak hanya menjadi tempat pendidikan agama, tetapi juga menjadi pusat pembelajaran ilmu pengetahuan umum, keterampilan, dan nilai-nilai kehidupan yang berlandaskan ajaran Islam.

Peran pembina (ustaz) memang sangat penting dalam memfasilitasi dan memandu komunikasi yang baik dengan santri. Mereka memiliki tanggung jawab untuk memberikan arahan, bimbingan, dan pengetahuan agama kepada santri. Sebagai figur otoritatif dan teladan, pembina juga berperan dalam membentuk pola komunikasi yang sehat, menginspirasi, dan memotivasi santri untuk berkomunikasi dengan baik, baik dalam konteks pembelajaran agama maupun dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan pembina juga memberikan rasa kepercayaan dan keamanan bagi santri untuk berkomunikasi secara terbuka dan mendapatkan bimbingan dalam menjalani perjalanan spiritual dan pendidikan mereka. Santri memang merupakan aset berharga bagi pesantren dalam pembinaan mereka hingga mencapai kelulusan. Mereka adalah inti dari keberlangsungan pesantren, menjadi fokus utama dalam upaya pendidikan dan pembinaan agama. Pesantren bertanggung jawab untuk membimbing, mendidik, dan membentuk karakter santri agar menjadi individu yang beriman, berakhlak mulia, serta memiliki pengetahuan yang luas dalam agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Dengan demikian, santri yang telah lulus akan menjadi alumni yang membawa dampak positif bagi pesantren serta masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, pesantren berinvestasi secara besar-besaran dalam pembinaan santri sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan agama.

Pada dasarnya entertainment education berasal dari dua suku kata yaitu education dan entertainment. Entertainment education yang berarti pendidikan dan entertainment yang memiliki arti hiburan, sehingga dapat disimpulkan bahwa entertainment education merupakan pendidikan yang menghibur atau menyenangkan. Adapun dalam konteks terminologi entertainment education dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran yang didesain sebagai muatan pendidikan dan hiburan yang dikombinasikan secara harmonis untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Entertainment education merupakan sebuah metode atau model pembelajaran yang digunakan dalam pendidikan yang dipadukan atau dikombinasikan dengan hiburan sehingga anak/peserta didik tidak merasa jenuh, ngantuk, maupun bosan dalam mempelajari apa yang diajarkan oleh guru/pengajar. Dengan adanya konsep entertainment education juga dapat membuat proses pembelajaran menjadi menyenangkan dan bisa meningkatkan minat anak/peserta didik. Konsep ini bisa diterapkan, misalnya dengan;

  • Belajar di luar kelas (lapangan basket,halaman kampus), didesain seperti dalam kelas.
  • Menggunakan metode bermain peran (role play) pada pendidikan.
  • Menerapkan penggunaan multimedia.
  • Mengkombinasikan belajar sambil bersyair, beryel-yel.
  • Menggabungan pendidikan dengan permainan (gim).
  • Menyelipkan humor yang berhubungan dengan pendidikan.

Konsep entertainment education ini memiliki tujuan supaya peserta didik bisa mengikuti dan merasakan proses pembelajaran dengan suasana yang menyenangkan, menghibur, dan mencerdaskan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar. Manfaat entertainment education ini antara lain;

  • Perasaan positif seperti senang maupun gembira akan mampu mempercepat proses pembelajaran.
  • Bisa menjadi batu loncatan untuk meraih prestasi belajar karena emosi peserta didik terkendali dan bisa mengembangkan nalar anak/peserta didik.
  • Pembelajaran yang menyenangkan bisa meningkatkan minat dan motivasi anak/peserta didik dalam pembelajaran.
  • Mencapai hasil belajar yang optimal. Dengan demikian, perpaduan antara belajar dan hiburan yang menyenangkan ini didasarkan pada sifat alamiah anak yang dalam kesehariannya membutuhkan waktu bermain dan hiburan. 

Sehingga konsep pembelajaran entertainment education  ini bisa membantu anak untuk belajar lebih efektif karena diterapkan dalam kondisi yang menyenangkan dan bebas dari tekanan.

 

Universitas Madinah

MERETAS MAKNA DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN MODERN

HADITS JIBRIL, MERETAS MAKNA DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN MODERN

Ustadz Muh. Irfan Zain, Lc.

MERETAS MAKNA DAN RELEVANSINYA DALAM PENDIDIKAN MODERN

Hadits Jibril, sebuah narasi singkat, tetapi sarat makna, telah menjadi fondasi penting dalam pemahaman umat Islam mengenai dasar-dasar agama. Hadits ini mengisahkan tentang pertemuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Malaikat Jibril yang datang sebagai sosok orang asing. Beliau hadir dengan membawa peran ganda dalam satu waktu, seorang pendidik dan  pembelajar. Dalam dialog mereka, Jibril bertanya tentang Islam, iman, dan ihsan, serta tanda-tanda hari Kiamat. Jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ringkas dan padat merangkum inti ajaran Islam, menjadikannya sumber referensi utama bagi umat muslim sepanjang masa. Tulisan ini akan mengupas makna tersirat dalam dialog antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Jibril, serta menggali bagaimana nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan dalam konteks pendidikan modern.

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً». قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ». قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ». قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ: «مَا المَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ». قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا. قَالَ: «أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي البُنْيَانِ». ثُمَّ انْطَلَقَ، فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: «يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟» قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: «فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ».

Artinya: “Dari Umar bin Khattab ra berkata, “Suatu hari kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seorang pria dengan pakaian sangat putih dan rambut sangat hitam. Tidak tampak padanya bekas perjalanan dan tidak seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Dia duduk mendekati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyandarkan lututnya ke lutut Nabi, dan meletakkan telapak tangannya di atas paha Nabi. Dia berkata, ‘Wahai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.’ Rasulullah menjawab, ‘Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan menunaikan haji jika mampu.’ Dia berkata, ‘Benar.’ Kami heran karena dia yang bertanya dan dia pula yang membenarkan.

Kemudian dia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang iman.’ Rasulullah menjawab, ‘Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk.’ Dia berkata, ‘Benar.’

Kemudian dia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang ihsan.’ Rasulullah menjawab, ‘Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’

Kemudian dia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang hari kiamat.’ Rasulullah menjawab, ‘Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.’ Dia bertanya lagi, ‘Beritahu aku tentang tanda-tandanya.’ Rasulullah menjawab, ‘Jika budak wanita melahirkan tuannya, dan jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala kambing, saling berlomba-lomba dalam mendirikan bangunan tinggi.’

Kemudian dia pergi, dan aku terdiam sejenak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya?’ Aku menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah berkata, ‘Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.'” (HR. Muslim)

Dalam khazanah Islam, hadits Jibril ini sangat terkenal dan memiliki makna yang mendalam tentang ajaran agama. Hadits ini mengisahkan tentang kedatangan Malaikat Jibril ‘Alaihissalaam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan agama Islam secara komprehensif. Peristiwa ini bukan sekadar sebuah narasi historis, melainkan juga mengandung nilai-nilai pendidikan yang relevan bagi umat manusia sepanjang masa.

Dialog Ilahi: Menyingkap Tiga Pilar Utama

Hadits Jibril diriwayatkan oleh Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu Malaikat Jibril datang dalam rupa seorang pria yang sangat tampan dan mengenakan pakaian yang sangat bersih. Jibril mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan para sahabat dan mengajukan beberapa pertanyaan yang merangkum inti ajaran Islam. Tiga pertanyaan utama tersebut adalah tentang iman, Islam, dan ihsan.

Pertama, Jibril bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab bahwa Islam terdiri dari lima rukun: mengucapkan syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji jika mampu. Pertanyaan ini menegaskan pentingnya tindakan lahiriah dalam beragama yang menjadi fondasi dasar keislaman.

Kedua, Jibril bertanya tentang iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman adalah keyakinan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir baik maupun buruk. Pertanyaan ini menggambarkan aspek batiniah dari keimanan yang menjadi landasan spiritual seorang Muslim.

Ketiga, Jibril bertanya tentang ihsan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah seolah-olah kita melihat-Nya, dan jika kita tidak mampu melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Allah melihat kita. Ihsan menekankan kualitas spiritual yang tertinggi dalam Islam, yaitu beribadah dengan penuh kesadaran akan kehadiran Allah.

Konsep yang dihantar melalui tiga pilar tersebut, yaitu konsep Islam, Iman, dan Ihsan, memiliki relevansi langsung dengan kehidupan sehari-hari. Islam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, Iman mengatur keyakinan dan nilai-nilai, sedangkan Ihsan mendorong tindakan yang didasari keikhlasan dan kesadaran spiritual.

Selanjutnya, dialog tersebut diakhiri dengan pertanyaan Jibril tentang tanda-tanda hari kiamat mengingatkan akan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian. Hal ini mendorong umat Muslim untuk senantiasa beramal saleh dan memperbaiki diri.

Nilai-Nilai Pendidikan dalam Hadits Jibril

Hadits Jibril bukan hanya sekadar narasi sejarah, melainkan juga mengandung banyak nilai pendidikan yang sangat relevan dalam konteks pengajaran dan pembelajaran. Beberapa nilai tersebut antara lain:

Pertama, peran yang dimainkan oleh Malaikat Jibril dalam hadits ini bisa dilihat sebagai kombinasi antara seorang pendidik dan penuntut ilmu. Kedua peran ini saling melengkapi dan memiliki tujuan yang sama, yaitu menyampaikan dan menegaskan ajaran agama Islam kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat Muslim pada umumnya. Sebagai pendidik, beberapa nilai pendidikan yang sangat relevan dalam konteks pengajaran dan pembelajaran adalah:

  1. Metode Bertanya: Jibril menggunakan metode bertanya untuk memulai dialog dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Metode ini adalah teknik pedagogi yang efektif untuk mengajak peserta didik berpikir kritis dan reflektif. Dengan bertanya, Jibril merangsang pemikiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, serta menegaskan kembali pengetahuan yang telah mereka miliki.
  2. Mengajar dengan Cara Langsung: Jibril menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar tentang Islam, iman, dan ihsan. Ini mencakup ajaran dasar yang perlu dipahami dan diamalkan oleh setiap Muslim. Dengan cara ini, Jibril berfungsi sebagai seorang guru yang memberikan pengajaran langsung tentang prinsip-prinsip utama dalam agama Islam.
  3. Penjelasan yang Jelas dan Sistematis: Pertanyaan-pertanyaan Jibril diatur secara sistematis, mulai dari rukun Islam (aspek lahiriah), rukun iman (aspek batiniah), hingga ihsan (aspek spiritual). Ini menunjukkan metode pengajaran yang terstruktur, yang membantu para sahabat untuk memahami dan mengingat ajaran agama dengan lebih baik.

Sebagai penuntut ilmu, , beberapa nilai pendidikan yang sangat relevan dalam konteks pengajaran dan pembelajaran adalah:

  1. Bertanya untuk Menegaskan: Meskipun Jibril sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya, dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai cara untuk menegaskan dan memperjelas ajaran agama kepada para sahabat. Ini adalah peran seorang penuntut ilmu yang berusaha mendapatkan penjelasan dan konfirmasi dari sumber yang terpercaya, sekaligus menyebarkannya kepada para sahabat yang mendengarnya ketika itu.
  2. Memvalidasi Pengetahuan: Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab setiap pertanyaan, Jibril membenarkan jawaban tersebut dengan mengatakan, “Benar.” Ini adalah tindakan yang biasa dilakukan oleh seorang penuntut ilmu yang ingin memastikan kebenaran informasi yang diperoleh dari gurunya.
  3. Menyediakan Kesempatan untuk Pengajaran: Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting ini, Jibril menciptakan situasi di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat mengajarkan prinsip-prinsip dasar Islam secara terbuka di depan para sahabat. Ini menunjukkan sikap seorang penuntut ilmu yang tidak hanya mencari pengetahuan untuk dirinya sendiri, tetapi juga menyediakan kesempatan bagi orang lain untuk belajar.

Kedua, hadits ini mengajarkan tentang pentingnya pemahaman holistik dalam pendidikan agama. Islam, iman, dan ihsan adalah tiga komponen yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Pendidikan yang baik harus mencakup aspek lahiriah, batiniah, dan spiritual untuk menghasilkan individu yang utuh.

Ketiga, hadits ini menekankan nilai keteladanan dalam pendidikan. Jibril yang hadir dengan dua peran sekaligus menggambarkan kepada kita tentang sikap dan adab yang harus dimiliki

dalam kegiatan pembelajaran, baik sebagai seorang guru maupun sebagai seorang peserta didik. Beliau hadir dalam wujud yang sangat menarik dan berpenampilan rapi, menunjukkan bahwa penampilan dan perilaku di saat melakukan proses belajar-mengajar akan sangat mempengaruhi proses tersebut. Keteladanan dari pendidik akan menjadi inspirasi bagi peserta didik. Sebagaimana adab dan kesungguhan yang ditampilkan oleh peserta didik akan menjadikan suasana belajar mengajar lebih kondusif untuk sebuah hasil yang lebih maksimal.

Keempat, keberadaan Jibril sebagai seorang pembelajar yang merapatkan lututnya ke lutut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan tangannya ke atas pahanya mengandung beberapa nilai penting yang dapat diambil sebagai pelajaran dalam konteks adab belajar dan pendidikan:

  • Kedekatan dan Kehormatan: Tindakan Jibril yang mendekatkan dirinya secara fisik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kedekatan dan kehormatan yang tinggi terhadap guru atau sumber ilmu. Ini mencerminkan bahwa dalam menuntut ilmu, seorang murid harus menunjukkan rasa hormat dan penghargaan yang mendalam terhadap gurunya. Kedekatan ini juga memperlihatkan bahwa proses pembelajaran yang efektif memerlukan kedekatan emosional dan keterlibatan langsung antara guru dan murid.
  • Konsentrasi dan Perhatian Penuh: Posisi duduk yang dekat dan kontak fisik tersebut menunjukkan tingkat konsentrasi dan perhatian yang sangat tinggi dari Jibril terhadap apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam proses belajar, sangat penting bagi seorang murid untuk memberikan perhatian penuh dan memfokuskan diri pada materi yang diajarkan.
  • Adab dan Etika dalam Belajar: Sikap Jibril menunjukkan etika yang baik dalam belajar. Menyandarkan lutut dan meletakkan tangan di paha menunjukkan sikap rendah hati, tidak menyombongkan diri, dan kesiapan untuk menerima ilmu dengan hati yang terbuka. Etika ini mengajarkan bahwa seorang murid harus bersikap sopan, tenang, dan penuh adab dalam proses pembelajaran.
  • Interaksi Langsung dan Aktif: Tindakan ini juga menunjukkan pentingnya interaksi langsung dan aktif dalam proses pembelajaran. Dengan mendekat dan melakukan kontak fisik, Jibril menciptakan lingkungan belajar yang interaktif, di mana terjadi dialog dua arah antara guru dan murid. Ini memperlihatkan bahwa pembelajaran yang efektif melibatkan partisipasi aktif dan interaksi yang mendalam.
  • Menghargai Ilmu dan Guru: Kedekatan fisik dan sikap penuh perhatian yang ditunjukkan oleh Jibril mencerminkan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu dan sang guru. Ini mengajarkan pentingnya menghargai ilmu pengetahuan dan orang yang menyampaikannya. Menghargai guru adalah kunci untuk mendapatkan berkah dan manfaat maksimal dari ilmu yang dipelajari.
  • Kesiapan untuk Belajar: Posisi duduk yang dekat dan sikap penuh perhatian juga mencerminkan kesiapan Jibril untuk belajar. Ini menunjukkan bahwa seorang murid harus datang ke sesi pembelajaran dengan sikap yang siap menerima ilmu, baik secara fisik maupun mental. Kesiapan ini meliputi kesediaan untuk mendengarkan, bertanya, dan merenungkan apa yang diajarkan.

Kelima, hadits ini menggarisbawahi pentingnya menginternalisasi nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Ihsan sebagai puncak dari ajaran Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan harus dilandasi oleh kesadaran akan kehadiran Allah. Nilai ini mendorong individu untuk selalu berbuat baik dan menjunjung tinggi moralitas.

Relevansi Hadits Jibril dalam Pendidikan Modern

Relevansi hadits Jibril tidak lekang oleh waktu, bahkan dalam pendidikan modern. Metode pembelajaran yang dialogis dan interaktif, seperti yang dicontohkan dalam hadits ini, dapat merangsang pemikiran kritis dan reflektif peserta didik. Pemahaman konseptual yang mendalam tentang Islam, Iman, dan Ihsan akan memberikan landasan yang kokoh bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan. Selain itu, penekanan pada relevansi ajaran Islam dengan kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan motivasi belajar dan menjadikan pendidikan lebih bermakna.

Tidak hanya itu, nilai-nilai akhlak mulia dan kesadaran spiritual yang terkandung dalam hadits Jibril dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum dan metode pembelajaran. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya berfokus pada pengembangan intelektual, tetapi juga pembentukan karakter peserta didik yang berintegritas, berakhlak mulia, dan memiliki kesadaran spiritual yang tinggi.

Hadits Jibril adalah sumber inspirasi dan pedoman bagi umat Muslim dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Lebih dari itu, hadits ini juga merupakan khazanah yang kaya akan nilai-nilai pendidikan yang relevan sepanjang masa. Dengan menggali lebih dalam hikmah dari hadits ini, kita dapat merancang pendekatan pendidikan yang holistik, membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan berlandaskan nilai-nilai spiritual.

Daftar Rujukan

  1. Zain, M. I. (n.d.). Pelajaran dari Hadits Jibril. Al Binaa, 1(10).
  2. Muslim bin Al Hajjaj. (1334 H). Al Jaami’e As Shahih (Shahih Muslim). Daar At Thiba’ah Al ‘Aamirah.
  3. Muhammad bin Sholeh bin Muhammad ‘Al ‘Utsaimiin. (1431 H). Syarhu Al Arba’ien An Nawawiyyah. Daaru At Tsurayya li An Nasyr.
  4. ‘Athiyyah Saalim. Syarhu Al Arba’ien An Nawawiyyah. https://shamela.ws/book/7719/108
  5. Al Fawaaid Al Baidagoojiyyah fi Al Ahaadits An Nabawiyyah. https://www.alukah.net/social/0/129569/
20240822_112849_0000

Seri Esai Guru ke-5

MEMBANGUN KETELADANAN DARI GENERASI SALAFUS SHALIH

Oleh: Rayis Syamlan, S.T.

 

Setiap muslim in sya Allah sepakat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  adalah suri tauladan bagi umat manusia. Tidak akan ada seorang pun apalagi pendidik muslim yang mengingkarinya, bahkan yang sekuler pun mungkin tidak akan  berani secara terang-terangan menentangnya.  Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan hal ini dalam firman-Nya: Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah  (Al-Ahzab, 33:21).

Begitu juga jika disebutkan  meneladani salafus shalih, generasi awal umat ini,  kaum muslimin secara umum masih satu kata. Selain sekte Syiah Rafidhah maka kisah para sahabat Nabi masih banyak menjadi rujukan dalam dunia pendidikan dari berbagai kalangan. Namun, ketika disebutkan mengikuti jejak para salafus shalih  atau yang kita sering dengar dengan mengikuti manhaj salaf, di sinilah mulai terjadi perbedaan sudut pandang.

Tentu saja tulisan ini tidak akan mengupas apa dan bagaimana manhaj salaf karena hal itu membutuhkan pembahasan tersendiri dan para pembaca dapat merujuk lebih lanjut dari berbagai sumber yang sekarang sudah Allah mudahkan untuk mempelajarinya. Tulisan ini hanya akan sedikit mengetengahkan argumen yang menjadi pokok pembahasan tentang pendidikan karakter, yaitu  bahwa dalam pendidikan ada sesuatu yang dinamis dan ada juga yang statis. Sesuatu yang dinamis maka kembali kepada sabda Nabi sallallahu alaihi wassalam “antum a’lamu bi umuri dunyakum, engkau lebih tahu tentang urusan duniamu (Hadits riwayat Muslim dan Anas bin Malik 4358, bagian dari hadits yang panjang). Berinovasilah untuk hal-hal ini seluas-luasnya dalam metode terbarukan, penggunaan alat bantu pendidikan sampai aplikasi digital maupun penggunaan media sosial dan sebagainya.

Namun, ada perkara yang yang statis atau lebih tepat tidak berubah, dalam ilmu nahwu ada istilah mabni.  Dalam hal ini akan kembali  kepada sabda Nabi berikut. Dari Abdullah radiyallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang setelah mereka kemudian orang-orang yang setelah mereka. Kemudian akan datang sebuah kaum yang persaksian seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya. Ibrahim (salah satu perawi) berkata, dahulu mereka (para sahabat) memukul kami bila melanggar perjanjian dan persaksian (Hadits Riwayat Bukhari: 2458).

Kita sedang berbicara tentang pembentukan karakter, tentu ini seputar adab dan akhlak. Kenyataan menunjukkan disadari atau tidak bahwa ini adalah perkara yang memiliki standar yang cenderung tetap dan tidak berubah terutama dalam ajaran Islam. Islam tidak ada istilah revisi apalagi amandemen, sekali pun berkembang istilah fikih kontemporer, tetapi kaidah dasar telah tetap dan kokoh, agama ini telah sempurna. Demikian pula pendidikan adab dan akhlak atau mau kita gunakan dengan istilah karakter adalah tetap. (Sebenarnya dalam peristilahan pun penulis kurang setuju. Dr Adian Husaini mengupas panjang tentang adanya upaya pembelokan peristilahan ‘adab” yang justru  tercantum dalam dasar negara dan kata “akhlak” yang tercantum dalam  Undang-Undang,   dan tanpa disadari kita sudah terbawa).

Sebenarnya pengakuan bahwa perilaku generasi terdahulu kelihatan lebih baik dari sisi akhlak dan norma sosial adalah sesuatu yang kasat mata. Kita sering mendapati kalimat “dahulu kami diajari sopan santun seperti ini” atau “dahulu kami takut dan sangat hormat kepada guru”. Ada kecenderungan seseorang merasakan bahwa pendidikan pada masa lampau lebih baik pada beberapa sisi utamanya dari sisi pembentukan akhlak mulia. Bahkan masyarakat barat di luar Islam masih menggunakan busana yang lebih sopan pada zaman dahulu dibandingkan sekarang yang bisa kita lihat dari gambar-gambar tempo dulu. Tentu saja kita tidak akan mengatakan bahwa  masyarakat sekarang sudah pasti lebih buruk dari sebelumnya sebagai suatu keniscayaan karena yang demikian akan menganulir proses pendidikan yang sedang kita geluti. Saya hanya ingin mengatakan bahwa dalam aspek karakter nyaris ada kesepakatan bahwa standar masa lampau lebih baik dari yang sekarang, atau setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa pola pendidikan karakter adalah sesuatu yang dianggap tetap tolok ukurnya. Lantas  standar masa lampau yang mana yang akan kita jadikan rujukan. Inilah persoalan intinya.

Generasi yang telah mendapat rekomendasi  (tazkiah)  dari suri tauladan agung adalah tiga generasi pertama umat ini sehingga kita harus kokoh dalam hal ini jangan terpengaruh syubhat yang beredar. Benar, di awal tulisan ini saya katakan tidak ada yang menolak nabi sebagai suri tauladan, tetapi bukankah ajakan untuk kembali kepada salaf sering dicemooh dengan sebutkan “kita disuruh kembali ke zaman unta”. Ironisnya, pada saat yang lain sang pencemooh begitu fasih mengutip “kata bijak” dari Plato dan Aristoteles dari kaum penyembah berhala.

Mendidik akhlak berporos pada firman Allah dalam  surat Al Jumuah ayat 2:  Dialah  Allah) yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum yang buta huruf dari (kalangan) mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah (sunah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. Ayat yang semakna dengan ini disebutkan pula dalam beberapa surat lain di antaranya dalam Al-Baqarah dan Ali Imran . Inilah yang disebut dengan tarbiah (pendidikan) dan tashfiah (penyucian jiwa). Inilah metode Rasul yang diikuti para salaf dalam menyucikan jiwa.  Tarbiah bermuara pada Al-Qur’an dan Assunnah sedangkan  penyucian jiwa dimulai dari dari membersihkan diri dari kemusyrikan dan bid’ah.

Jika sudah benar jalan yang kita tempuh, janganlah menengok ke kiri dan ke kanan akibat silaunya syubhat dan tipu daya dunia. Kita mendidik manusia sesuai dengan tujuan pendidikan membentuk akhlak mulia bukan sekadar mengajari mereka mengejar mimpi dan cita-cita. Kegamangan kita akan manhaj yang haq ini telah menjadikan kita sibuk mencari berbagai sumber rujukan dan meninggalkan sumber dari segala sumber. Oleh karena itu, melalui tulisan ini saya ingin mengajak  sejawat  para pendidik apa pun bidang yang diampunya untuk memperkaya diri dengan mempelajari kehidupan para salafus shalih dan mengikuti jejak mereka dalam beragama. Inilah yang harus selalu kita transformasikan kepada para peserta didik di tengah derasnya gempuran arus informasi dari berbagai sumber yang tidak dapat mereka bendung. 

Sungguh mempelajari kehidupan para salaf, akan mendapatkan mutiara tak ternilai yang akan memperkaya cara pandang kita dalam banyak hal. Hampir semua ulama salaf yang menjadi rujukan umat adalah manusia yang paling bagus ibadahnya dan paling tinggi adabnya. Pantaslah yang demikian  itu karena mereka  adalah pewaris  nabi dan orang yang paling tinggi rasa takutnya kepada Allah sebagaimana disebut dalam QS Fathir: 28, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dari hamba-Nya adalah para Ulama. Nabi tidak  mewariskan harta dan mewariskan tahta dan kekuasaan,  Nabi mewariskan ilmu.”

Kita sekarang mendidik generasi milenial yang diistilahkan generasi Z dengan berbagai ciri khasnya yang sudah sering diungkap di berbagai media.  Generasi boleh berubah dan akan terus berubah. Namun, koordinat benchmarking (koordinat 0,0) sebagai tolok ukur suri tauladan   tidak akan berubah sepanjang masa dari yang disebutkan dalam Surat Al Ahzab: 21 yang disebut di awal tulisan ini. Inilah hikmahnya Allah telah mengutus manusia sempurna sebagai kriteria ideal, kemudian Rasulullah memberikan tazkiah (rekomendasi) kepada tiga generasi awal umat ini untuk menjadi rujukan bagi generasi selanjutnya.

Saudaraku,  mari kita renungkan nasihat Imam Darul Hijarah, Malik bin Anas (93—179 H),  “Tidak akan baik generasi akhir umat ini, kecuali dengan apa yang menjadikan generasi awalnya menjadi baik”. Imam Al Auza’i (88-157H) pun mewasiatkan, “Bersabarlah dalam menjalankan sunnah Nabi, berjalanlah pada jalan ulama salafus shalih, sesungguhnya yang demikian itu akan melapangkan jalanmu sebagaimana jalan itu telah melapangkan mereka. (Hilyatul Aulia, dikutip dari 60 Biografi Ulama Salaf Syaikh Ahmad Farid)

Mendidik adalah amal shalih yang dengannya kita berharap menjadi pemberat timbangan pada hari yang  tidak ada jual beli. Oleh karena itu, jadikanlah amal shalih ini semata-mata mengharap ridha Allah dan tidak sedikit pun mengharap balasan dunia karena yang demikian itu terlalu murah dan berpotensi membelokkan arah perjuangan. Masa panen ada di akhirat sedangkan dunia adalah ladang bercocok tanam.

Wallallahu waliyut taufiq

20240812_232428_0000

Seri Esai Guru ke-4

MEMBANGUN AKHLAK SANTRI SEKOLAH SUNNAH

Oleh: Priyo Widodo, S.Pi.

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, dan peradaban bangsa yang bermartabat.  Pendidikan nasional memiliki tujuan di antaranya mengembangkan potensi peserta didik agar beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.  Akan tetapi, pendidikan nasional masih dianggap sebagai biang sekularisme dan dikotomi pendidikan karena pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama hanya sebagai bagian kecil dari keseluruhan aspek pendidikan yang diajarkan di sekolah, bukan sebagai landasan bagi seluruh aspek pendidikan.  

Sistem pendidikan nasional menghasilkan lulusan yang mampu menguasai sains dan teknologi, kompetitif di dunia kerja dan kehidupan sosial, tetapi pada umumnya lulusan mereka adalah orang-orang yang lemah akidahnya dan dangkal pengetahuannya tentang aturan-aturan agama.  Akibatnya, pada kemudian hari bisa ditebak, posisi-posisi strategis di berbagai bidang  kehidupan bermasyarakat dan bernegara diisi oleh orang-orang yang bermental korup dan memiliki ambisi duniawi yang tinggi.  Hal ini menyebabkan tindak korupsi, gratifikasi, dan manipulasi berakar sangat dalam bahkan menjadi budaya.  Dampak lain adalah melebarnya kesenjangan sosial ekonomi, merebaknya pornografi dan pornoaksi, premanisme dan kemerosotan moral di tengah masyarakat.

Pesantren dianggap sebagai warisan peradaban bangsa Indonesia yang memiliki kiprah besar dalam meraih kemerdekaan dan membentengi akhlak Islam dari pengaruh budaya barat.  Pada masa pascakemerdekaan pesantren juga memiliki peran yang sama, yaitu mencetak generasi penerus bangsa yang berkarakter dan menyebarkan syariat Islam di tengah masyarakat.  Sebagai sebuah institusi pendidikan berorientasi Islam, pondok pesantren memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki akhlak masyarakat melalui pendidikan dan pembiasaan yang diberikan kepada santri-santrinya.  Jika ilmu dan karakter yang unggul berhasil menjadi pakaian para santri atau alumninya dapat diharapkan mereka mampu menebarkan cahaya kebaikan ini di lingkungan sekitar sehingga akan tumbuhlah lingkungan masyarakat yang beradab.  Sebaliknya, jika pesantren gagal membentuk ilmu dan karakter yang baik pada alumninya bisa jadi hal ini berarti pesantren tidak mampu memberikan andil yang semestinya terhadap perbaikan moral bangsa.

Bagi pesantren-pesantren tradisional, target karakter yang dituju tampaknya masih dapat dicapai dengan baik.  Budaya intern berupa sikap takzim kepada kiai, plus adanya kitab muqarrar yang menuntun adab santri, senantiasa menjadi doktrin yang ampuh untuk mencetak manusia dengan karakter baik di masyarakat.  Akan tetapi, salah satu kelemahan utama lulusan pesantren tradisional adalah minimnya penguasaan ilmu umum dan ketrampilan dalam menghadapi perkembangan sosial, sains, dan teknologi.  Lulusan pesantren tradisional biasanya akan mengisi relung-relung “profesi” yang berbau keagamaan, seperti guru mengaji, imam shalat, khatib jumat dan lainnya yang biasa disebut orang sebagai ustaz kampung.   Sebaliknya, pada pesantren modern (Pesantren plus Sekolah Islam Terpadu), yang dianggap oleh sebagian orang mampu menjawab tantangan zaman karena menggabungkan sistem kepesantrenan dengan sekolah umum, justru salah satu problem utama yang dihadapinya adalah rendahnya akhlak santri.  Institusi yang semestinya diharapkan mampu mengobati penyakit masyarakat berupa kemerosotan moral malah mengalami kesulitan dalam mengobati penyakit akhlak yang diderita anak-anak didiknya.    

Di Indonesia pada sekitar tahun 2000-an seiring dengan semakin berkembangnya dakwah salaf,  tumbuh pula pesantren-pesantren modern bermanhaj salaf yang sering disebut sebagai pesantren atau sekolah sunnah.  Pesantren atau sekolah ini seperti umumnya sebuah sekolah Islam terpadu dicirikan dengan  diajarkan di dalamnya ilmu agama dan ilmu umum dalam sebuah paket kurikulum terpadu.  Dalam hal ilmu umum sekolah sunnah biasanya kurikulumnya mengacu pada Kementrian Pendidikan Nasional, sedangkan dalam ilmu agama selalu menekankan pendidikan akidah yang lurus, mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjauhi bid’ah dan memerangi syirik, sehingga sebagian orang yang kurang bersimpati menamainya dengan pesantren atau sekolah Salafi Wahabi.  Dari sekolah sunnah semacam inilah diharapkan kelak akan lahir para teknokrat, manajer, dan profesional yang memiliki pemahaman, wawasan, dan karakter islami yang kuat.  

Dalam perjalanannya, sebagaimana yang terjadi pada sekolah islam terpadu lainnya, didapatkan fenomena rendahnya akhlak santri pada sekolah sunnah.  Hal ini disinyalir karena pada umumnya santri sekolah sunnah memiliki latar belakang dari keluarga ekon omi menengah ke atas yang dididik dalam lingkungan serba nyaman dan fasilitas lengkap.    Jauh berbeda dengan latar belakang santri pesantren tradisional yang pada umumnya berasal dari keluarga sederhana.  Banyak praktisi kepengasuhan sekolah sunnah meyakini bahwa semakin mahal pesantren, semakin babak-belur akhlak santrinya.  Di antara permasalahan adab yang menjadi momok di sekolah sunnah adalah adab kepada guru, adab saat di masjid, adab makan dan minum, adab dalam berbicara dan adab kepada sesama santri.  Dari lingkungan kepengasuhan juga tidak kalah beratnya, mulai dari banyaknya penggunaan celana pendek di asrama, penggunaan bahasa kasar, perusakan fasilitas, kesulitan tidur tepat waktu, kesulitan bangun subuh, sampai dengan ketidakseriusan santri di halaqah Al-Qur’an.   Permasalahan-permasalahan ini bisa berlangsung hingga belasan tahun tanpa ada solusi dan langkah penanganan yang nyata.  Melihat adanya permasalahan yang tak kunjung selesai, wajar saja jika kemudian muncul sikap pesimis dari para pendidik.  Sikap pesimis ini dapat dilihat dari sikap apriori, sikap saling tunjuk, atau bahkan sikap permisif ustaz dan elemen pesantren lain terhadap berbagai penyimpangan para santri tersebut.  

Sebagai seorang pendidik di sekolah sunnah saya berkeyakinan tidak mungkin pesantren berhasil membentuk karakter santri kecuali dengan konsisten mengikuti manhaj salafusshalih dalam mendidik santri serta tidak silau dengan metode-metode pendidikan karakter yang ditawarkan para pakar pendidikan ala barat.  Alasannya cukup banyak,  di antaranya karena pendidikan manhaj salaf  telah dijamin mutunya oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan pendidikan ala barat tidak memiliki garansi apa pun.  Pendidikan manhaj salaf terbukti melahirkan  pemuda  berusia 11 tahun bernama Zaid bin Tsabit yang mampu menguasai bahasa Ibrani dalam 17 hari, melahirkan pemuda 18 tahun bernama Usamah bin Zaid yang mampu menjadi panglima perang dan sukses melibas Romawi,  juga melahirkan pemuda 15 tahun bernama Muhammad bin Idris As Syafi’i yang mampu menjadi seorang mufti.  Pendidikan manhaj salaf memiliki panduan yang jelas dan meyakinkan, sedangkan pendidikan ala barat masih bersifat trial and error.  

Jika institusi pesantren konsen kepada metode pendidikan karakter salafusshalih saya yakin akan muncul terobosan-terobosan praktis untuk mengaplikasikannya baik oleh manajemen pesantren dalam menentukan kebijakan maupun guru dalam melakukan pembelajaran.  Karena berbagai keterbatasan saya hanya bisa memberikan beberapa contoh gambaran  aplikasi metode pendidikan salaf di sekolah sunnah. 

 Yang pertama, dalam hal metode pengokohan pondasi akidah.   Pada prinsipnya akidah yang lurus haruslah dibangun di atas ilmu, sedangkan akhlak mulia dibangun di atas akidah yang lurus ini.  Inilah pembeda terpenting antara karakter barat dengan karakter seorang muslim.   Pendidikan manhaj salaf menghasilkan karakter yang berlandaskan keimanan pada Allah dan harapan keselamatan di hari akhir sedangkan pendidikan karakter ala barat hanya mentok sampai urusan duniawi semata.  Untuk mengaplikasikan metode ini pesantren atau sekolah dapat mengambil langkah, misalnya, dengan melakukan seleksi calon guru atau karyawan dan hanya menerima  calon yang telah bermanhaj salaf.  Ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang saling menguatkan dan menjadi teladan nyata bagi santri.  Jika hal ini sulit dilakukan, seluruh personel yang baru bergabung harus mengikuti program pendidikan manhaj salaf secara berkesinambungan disertai dengan evaluasi terhadap kemajuan wawasan keislaman peserta program.  Untuk mengokohkan akidahnya dalam pembelajaran santri harus diberikan jam pelajaran yang cukup untuk pengajaran manhaj dan akidah.  Tidak cukup pelajaran hanya dipenuhi teori dan hafalan dalil,  tetapi justru perlu ditekankan contoh berupa kisah-kisah teladan disertai diskusi dan praktik keseharian dalam menerapkan ilmu yang sudah didapatkan.

Dalam hal metode keteladanan atau uswah hasanah, peran guru dalam memberikan keteladanan kepada santri sangatlah urgen, baik di dalam maupun di luar proses pembelajaran.  Jika ingin melihat santri mempraktikkan senyum dan salam, guru harus melakukannya terlebih dahulu terhadap santri.  Jika ingin melihat santri tertib dan tenang dalam shalat berjama’ah, guru pun harus lebih dahulu bersikap seperti itu.  Jika ingin santri berpenampilan rapih dan islami, guru pun harus mencontohkan memotong rambut dan kuku, tidak isbal, berpakaian rapih dan demikian seterusnya.  Santri yang cenderung semangat dalam kebaikan akan mencontoh guru yang menurut mereka terbaik dalam suatu adab kebaikan, sedangkan santri yang cenderung lemah akan mencontoh guru yang paling minim dalam suatu adab kebaikan.  Untuk itu  diperlukan penentuan oleh pesantren standar minimal seorang guru dalam berbagai hal adab kebaikan.  Tidak boleh ada guru atau karyawan yang dibiarkan berlarut-larut menularkan perilaku keburukan pada santrinya, baik dalam berbicara, berpakaian, dan adab-adab lainnya.  Sebanyak apa pun nasihat keluar dari mulut seorang guru akan dengan mudah dilupakan santri, tetapi yang akan selalu berbekas di ingatan mereka adalah apa yang mereka lihat dari akhlak guru setiap hari.

Dalam hal metode pembiasaan, para pendidik di pesantren harus menyadari bahwa pembiasaan merupakan implementasi dari ilmu yang telah didapatkan.  Pembiasaan tanpa transfer ilmu dan upaya penyadaran yang berkelanjutan akan menjadikan pesantren bagaikan penjara yang menyiksa santri.  Santri akan melaksanakan adab kebaikan dengan penuh keterpaksaan dan akan mudah meninggalkannya jika nanti telah lulus dari pesantren.  Metode pembiasaan sangat penting karena kebaikan senantiasa bertentangan dengan hawa nafsu seseorang. Hawa nafsu akan senantiasa mendorong manusia pada sifat yang buruk dan rendah. Pembiasaan akan memudahkan santri dalam menundukkan hawa nafsu tersebut.  Dalam pembelajaran, diperlukan pembiasaan hal-hal yang baik, misalnya, belajar bersedekah untuk melatih sifat dermawan, belajar antre dan membatasi fasilitas untuk melatih sifat sabar, belajar bela diri dan panahan untuk melatih sifat berani, belajar mengerjakan tugas tanpa diawasi langsung untuk melatih sifat jujur.   Dalam proses pembiasaan ini guru dan seluruh elemen pesantren harus memaklumi bahwa hasil pendidikan tidak akan diperoleh secara instan, tetapi serba bertahap.  Mereka harus berusaha bersabar terhadap kekurangan-kekurangan santri, sekaligus berusaha membiasakan adab-adab mulia kepada santri sesuai kemampuan dan bidang mereka masing-masing.

Dalam hal metode peneguran, selama proses pembelajaran guru tidak boleh segan atau bosan dalam menegur berbagai kesalahan santri.  Karyawan dan staf pun harus membiasakan diri menegur kesalahan santri ketika mereka melanggar norma agama.  Metode ini sangat penting karena tidak mungkin selama proses belajar santri terbebas dari berbagai kesalahan, baik yang disebabkan oleh hawa nafsu atau disebabkan oleh syubhat dan ketidaktahuan mereka.  Menegur tidak selalu identik dengan kekerasan, bahkan kelembutanlah yang harus dikedepankan.   Menegur santri yang baik jika memungkinkan adalah dengan tidak mempermalukannya di depan teman-temannya.  Menegur tidak boleh ditunda-tunda hingga kehilangan momentum yang tepat, tetapi juga tidak terburu-buru diiringi dengan emosi berlebihan dalam menegur.  Di sinilah pentingnya kesabaran dan keikhlasan dalam mendidik.

Barangkali jika keempat metode tersebut di atas dilaksanakan sekolah sunnah dengan konsisten, terukur dan terevaluasi, akan dapat diharapkan terjadi peningkatan karakter santri-santri pesantren atau sekolah sunnah secara signifikan.  Yang pasti,  semakin berusaha mendekati dan mengaplikasikan manhaj salaf, baik perseorangan atau lembaga, dengan izin Allah tentu akan semakin mendapatkan keberkahannya.  Wallahu a’lamu bisshawaab.