20240812_232428_0000

Seri Esai Guru ke-4

MEMBANGUN AKHLAK SANTRI SEKOLAH SUNNAH

Oleh: Priyo Widodo, S.Pi.

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, dan peradaban bangsa yang bermartabat.  Pendidikan nasional memiliki tujuan di antaranya mengembangkan potensi peserta didik agar beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri, dan bertanggung jawab.  Akan tetapi, pendidikan nasional masih dianggap sebagai biang sekularisme dan dikotomi pendidikan karena pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama hanya sebagai bagian kecil dari keseluruhan aspek pendidikan yang diajarkan di sekolah, bukan sebagai landasan bagi seluruh aspek pendidikan.  

Sistem pendidikan nasional menghasilkan lulusan yang mampu menguasai sains dan teknologi, kompetitif di dunia kerja dan kehidupan sosial, tetapi pada umumnya lulusan mereka adalah orang-orang yang lemah akidahnya dan dangkal pengetahuannya tentang aturan-aturan agama.  Akibatnya, pada kemudian hari bisa ditebak, posisi-posisi strategis di berbagai bidang  kehidupan bermasyarakat dan bernegara diisi oleh orang-orang yang bermental korup dan memiliki ambisi duniawi yang tinggi.  Hal ini menyebabkan tindak korupsi, gratifikasi, dan manipulasi berakar sangat dalam bahkan menjadi budaya.  Dampak lain adalah melebarnya kesenjangan sosial ekonomi, merebaknya pornografi dan pornoaksi, premanisme dan kemerosotan moral di tengah masyarakat.

Pesantren dianggap sebagai warisan peradaban bangsa Indonesia yang memiliki kiprah besar dalam meraih kemerdekaan dan membentengi akhlak Islam dari pengaruh budaya barat.  Pada masa pascakemerdekaan pesantren juga memiliki peran yang sama, yaitu mencetak generasi penerus bangsa yang berkarakter dan menyebarkan syariat Islam di tengah masyarakat.  Sebagai sebuah institusi pendidikan berorientasi Islam, pondok pesantren memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki akhlak masyarakat melalui pendidikan dan pembiasaan yang diberikan kepada santri-santrinya.  Jika ilmu dan karakter yang unggul berhasil menjadi pakaian para santri atau alumninya dapat diharapkan mereka mampu menebarkan cahaya kebaikan ini di lingkungan sekitar sehingga akan tumbuhlah lingkungan masyarakat yang beradab.  Sebaliknya, jika pesantren gagal membentuk ilmu dan karakter yang baik pada alumninya bisa jadi hal ini berarti pesantren tidak mampu memberikan andil yang semestinya terhadap perbaikan moral bangsa.

Bagi pesantren-pesantren tradisional, target karakter yang dituju tampaknya masih dapat dicapai dengan baik.  Budaya intern berupa sikap takzim kepada kiai, plus adanya kitab muqarrar yang menuntun adab santri, senantiasa menjadi doktrin yang ampuh untuk mencetak manusia dengan karakter baik di masyarakat.  Akan tetapi, salah satu kelemahan utama lulusan pesantren tradisional adalah minimnya penguasaan ilmu umum dan ketrampilan dalam menghadapi perkembangan sosial, sains, dan teknologi.  Lulusan pesantren tradisional biasanya akan mengisi relung-relung “profesi” yang berbau keagamaan, seperti guru mengaji, imam shalat, khatib jumat dan lainnya yang biasa disebut orang sebagai ustaz kampung.   Sebaliknya, pada pesantren modern (Pesantren plus Sekolah Islam Terpadu), yang dianggap oleh sebagian orang mampu menjawab tantangan zaman karena menggabungkan sistem kepesantrenan dengan sekolah umum, justru salah satu problem utama yang dihadapinya adalah rendahnya akhlak santri.  Institusi yang semestinya diharapkan mampu mengobati penyakit masyarakat berupa kemerosotan moral malah mengalami kesulitan dalam mengobati penyakit akhlak yang diderita anak-anak didiknya.    

Di Indonesia pada sekitar tahun 2000-an seiring dengan semakin berkembangnya dakwah salaf,  tumbuh pula pesantren-pesantren modern bermanhaj salaf yang sering disebut sebagai pesantren atau sekolah sunnah.  Pesantren atau sekolah ini seperti umumnya sebuah sekolah Islam terpadu dicirikan dengan  diajarkan di dalamnya ilmu agama dan ilmu umum dalam sebuah paket kurikulum terpadu.  Dalam hal ilmu umum sekolah sunnah biasanya kurikulumnya mengacu pada Kementrian Pendidikan Nasional, sedangkan dalam ilmu agama selalu menekankan pendidikan akidah yang lurus, mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjauhi bid’ah dan memerangi syirik, sehingga sebagian orang yang kurang bersimpati menamainya dengan pesantren atau sekolah Salafi Wahabi.  Dari sekolah sunnah semacam inilah diharapkan kelak akan lahir para teknokrat, manajer, dan profesional yang memiliki pemahaman, wawasan, dan karakter islami yang kuat.  

Dalam perjalanannya, sebagaimana yang terjadi pada sekolah islam terpadu lainnya, didapatkan fenomena rendahnya akhlak santri pada sekolah sunnah.  Hal ini disinyalir karena pada umumnya santri sekolah sunnah memiliki latar belakang dari keluarga ekon omi menengah ke atas yang dididik dalam lingkungan serba nyaman dan fasilitas lengkap.    Jauh berbeda dengan latar belakang santri pesantren tradisional yang pada umumnya berasal dari keluarga sederhana.  Banyak praktisi kepengasuhan sekolah sunnah meyakini bahwa semakin mahal pesantren, semakin babak-belur akhlak santrinya.  Di antara permasalahan adab yang menjadi momok di sekolah sunnah adalah adab kepada guru, adab saat di masjid, adab makan dan minum, adab dalam berbicara dan adab kepada sesama santri.  Dari lingkungan kepengasuhan juga tidak kalah beratnya, mulai dari banyaknya penggunaan celana pendek di asrama, penggunaan bahasa kasar, perusakan fasilitas, kesulitan tidur tepat waktu, kesulitan bangun subuh, sampai dengan ketidakseriusan santri di halaqah Al-Qur’an.   Permasalahan-permasalahan ini bisa berlangsung hingga belasan tahun tanpa ada solusi dan langkah penanganan yang nyata.  Melihat adanya permasalahan yang tak kunjung selesai, wajar saja jika kemudian muncul sikap pesimis dari para pendidik.  Sikap pesimis ini dapat dilihat dari sikap apriori, sikap saling tunjuk, atau bahkan sikap permisif ustaz dan elemen pesantren lain terhadap berbagai penyimpangan para santri tersebut.  

Sebagai seorang pendidik di sekolah sunnah saya berkeyakinan tidak mungkin pesantren berhasil membentuk karakter santri kecuali dengan konsisten mengikuti manhaj salafusshalih dalam mendidik santri serta tidak silau dengan metode-metode pendidikan karakter yang ditawarkan para pakar pendidikan ala barat.  Alasannya cukup banyak,  di antaranya karena pendidikan manhaj salaf  telah dijamin mutunya oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan pendidikan ala barat tidak memiliki garansi apa pun.  Pendidikan manhaj salaf terbukti melahirkan  pemuda  berusia 11 tahun bernama Zaid bin Tsabit yang mampu menguasai bahasa Ibrani dalam 17 hari, melahirkan pemuda 18 tahun bernama Usamah bin Zaid yang mampu menjadi panglima perang dan sukses melibas Romawi,  juga melahirkan pemuda 15 tahun bernama Muhammad bin Idris As Syafi’i yang mampu menjadi seorang mufti.  Pendidikan manhaj salaf memiliki panduan yang jelas dan meyakinkan, sedangkan pendidikan ala barat masih bersifat trial and error.  

Jika institusi pesantren konsen kepada metode pendidikan karakter salafusshalih saya yakin akan muncul terobosan-terobosan praktis untuk mengaplikasikannya baik oleh manajemen pesantren dalam menentukan kebijakan maupun guru dalam melakukan pembelajaran.  Karena berbagai keterbatasan saya hanya bisa memberikan beberapa contoh gambaran  aplikasi metode pendidikan salaf di sekolah sunnah. 

 Yang pertama, dalam hal metode pengokohan pondasi akidah.   Pada prinsipnya akidah yang lurus haruslah dibangun di atas ilmu, sedangkan akhlak mulia dibangun di atas akidah yang lurus ini.  Inilah pembeda terpenting antara karakter barat dengan karakter seorang muslim.   Pendidikan manhaj salaf menghasilkan karakter yang berlandaskan keimanan pada Allah dan harapan keselamatan di hari akhir sedangkan pendidikan karakter ala barat hanya mentok sampai urusan duniawi semata.  Untuk mengaplikasikan metode ini pesantren atau sekolah dapat mengambil langkah, misalnya, dengan melakukan seleksi calon guru atau karyawan dan hanya menerima  calon yang telah bermanhaj salaf.  Ini sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang saling menguatkan dan menjadi teladan nyata bagi santri.  Jika hal ini sulit dilakukan, seluruh personel yang baru bergabung harus mengikuti program pendidikan manhaj salaf secara berkesinambungan disertai dengan evaluasi terhadap kemajuan wawasan keislaman peserta program.  Untuk mengokohkan akidahnya dalam pembelajaran santri harus diberikan jam pelajaran yang cukup untuk pengajaran manhaj dan akidah.  Tidak cukup pelajaran hanya dipenuhi teori dan hafalan dalil,  tetapi justru perlu ditekankan contoh berupa kisah-kisah teladan disertai diskusi dan praktik keseharian dalam menerapkan ilmu yang sudah didapatkan.

Dalam hal metode keteladanan atau uswah hasanah, peran guru dalam memberikan keteladanan kepada santri sangatlah urgen, baik di dalam maupun di luar proses pembelajaran.  Jika ingin melihat santri mempraktikkan senyum dan salam, guru harus melakukannya terlebih dahulu terhadap santri.  Jika ingin melihat santri tertib dan tenang dalam shalat berjama’ah, guru pun harus lebih dahulu bersikap seperti itu.  Jika ingin santri berpenampilan rapih dan islami, guru pun harus mencontohkan memotong rambut dan kuku, tidak isbal, berpakaian rapih dan demikian seterusnya.  Santri yang cenderung semangat dalam kebaikan akan mencontoh guru yang menurut mereka terbaik dalam suatu adab kebaikan, sedangkan santri yang cenderung lemah akan mencontoh guru yang paling minim dalam suatu adab kebaikan.  Untuk itu  diperlukan penentuan oleh pesantren standar minimal seorang guru dalam berbagai hal adab kebaikan.  Tidak boleh ada guru atau karyawan yang dibiarkan berlarut-larut menularkan perilaku keburukan pada santrinya, baik dalam berbicara, berpakaian, dan adab-adab lainnya.  Sebanyak apa pun nasihat keluar dari mulut seorang guru akan dengan mudah dilupakan santri, tetapi yang akan selalu berbekas di ingatan mereka adalah apa yang mereka lihat dari akhlak guru setiap hari.

Dalam hal metode pembiasaan, para pendidik di pesantren harus menyadari bahwa pembiasaan merupakan implementasi dari ilmu yang telah didapatkan.  Pembiasaan tanpa transfer ilmu dan upaya penyadaran yang berkelanjutan akan menjadikan pesantren bagaikan penjara yang menyiksa santri.  Santri akan melaksanakan adab kebaikan dengan penuh keterpaksaan dan akan mudah meninggalkannya jika nanti telah lulus dari pesantren.  Metode pembiasaan sangat penting karena kebaikan senantiasa bertentangan dengan hawa nafsu seseorang. Hawa nafsu akan senantiasa mendorong manusia pada sifat yang buruk dan rendah. Pembiasaan akan memudahkan santri dalam menundukkan hawa nafsu tersebut.  Dalam pembelajaran, diperlukan pembiasaan hal-hal yang baik, misalnya, belajar bersedekah untuk melatih sifat dermawan, belajar antre dan membatasi fasilitas untuk melatih sifat sabar, belajar bela diri dan panahan untuk melatih sifat berani, belajar mengerjakan tugas tanpa diawasi langsung untuk melatih sifat jujur.   Dalam proses pembiasaan ini guru dan seluruh elemen pesantren harus memaklumi bahwa hasil pendidikan tidak akan diperoleh secara instan, tetapi serba bertahap.  Mereka harus berusaha bersabar terhadap kekurangan-kekurangan santri, sekaligus berusaha membiasakan adab-adab mulia kepada santri sesuai kemampuan dan bidang mereka masing-masing.

Dalam hal metode peneguran, selama proses pembelajaran guru tidak boleh segan atau bosan dalam menegur berbagai kesalahan santri.  Karyawan dan staf pun harus membiasakan diri menegur kesalahan santri ketika mereka melanggar norma agama.  Metode ini sangat penting karena tidak mungkin selama proses belajar santri terbebas dari berbagai kesalahan, baik yang disebabkan oleh hawa nafsu atau disebabkan oleh syubhat dan ketidaktahuan mereka.  Menegur tidak selalu identik dengan kekerasan, bahkan kelembutanlah yang harus dikedepankan.   Menegur santri yang baik jika memungkinkan adalah dengan tidak mempermalukannya di depan teman-temannya.  Menegur tidak boleh ditunda-tunda hingga kehilangan momentum yang tepat, tetapi juga tidak terburu-buru diiringi dengan emosi berlebihan dalam menegur.  Di sinilah pentingnya kesabaran dan keikhlasan dalam mendidik.

Barangkali jika keempat metode tersebut di atas dilaksanakan sekolah sunnah dengan konsisten, terukur dan terevaluasi, akan dapat diharapkan terjadi peningkatan karakter santri-santri pesantren atau sekolah sunnah secara signifikan.  Yang pasti,  semakin berusaha mendekati dan mengaplikasikan manhaj salaf, baik perseorangan atau lembaga, dengan izin Allah tentu akan semakin mendapatkan keberkahannya.  Wallahu a’lamu bisshawaab.

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *