KETIKA SANTRI MENANAM KURMA
Oleh: Mustaani Parmula, S.S., M.Pd.
Paradigma adiluhung pemuda selayaknya tumbuh dari sosok santri. Betapa tidak santri menjadi inspirasi perjuangan heroik dalam mewujudkan negeri ini. Tak hanya sebatas itu, ternyata dalam persiapan usaha kemerdekaan, kiai dan santri menunjukkan perannya di meja-meja diskusi dan diskursus demi merumuskan nasib bangsa ini.
Gambaran singkat tersebut menunjukkan peran santri tidak hanya berkutat pada pergulatan fisik, tetapi lebih dari itu membangun basis pikiran yang benar-benar dibutuhkan pada zamannya. Dalam artian santri adalah prototipe pemuda di atas rata-rata bila dibandingkan pemuda pada lazimnya. Memang tidak mudah menjadi pemuda ideal seperti santri. Ia harus bisa menjauhi gemerlap dunia jika ingin menginternalisasi semangat perjuangan nabi, sahabat, tabi’in, ulama, dan tokoh-tokoh pergerakan. Dari merekalah kejernihan ilmu menginspirasi semua sendi kehidupan.
Pesantren sebagai tempat tumbuhnya kedewasaan santri selayaknya menjadi suaka peradaban. Dengan kata lain, pesantren harus menjadi tempat nyaman melatih tata krama, budi pekerti, dan budi bahasa. Seperangkat etika, akhlak, dan kepribadian idealnya mewarnai bangunan keilmuan. Bahkan kejernihan ilmu karena mempertimbangkan sanad-sanad keilmuan menjadi marwah tersendiri bagi pesantren. Selain menjadi basis keilmuan, pesantren juga diharapkan menjadi tempat kemandirian karena dipercaya membekali lembaga dengan kurikulum lokal yang mumpuni
Itulah pula yang menjadi alasan mengapa sekelas Founding Father negeri ini, Sang Proklamator, Ir. Soekarno, gemar meluangkan waktunya berdiskusi dengan K.H. Agus Salim dan Buya Hamka karena sosok tokoh-tokoh itu mampu diajak berpikir jernih dan kritis. Bahkan ketika bangsa ini mengatasi agresi bertubi-tubi dari penjajah, Soekarno meminta nasihat sehingga keluarlah Resolusi Jihad yang memelopori Bung Tomo dan arek-arek Suroboyo melakukan perlawanan heroik. Dari sanalah Tokoh kiai dan santri menunjukkan karakter keislaman menjadi bagian tak terpisahkan dari rahim sejarah.
Ada Apa dengan Santri?
Kata santri menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti: a) Orang yang mendalami agama Islam; b) Orang beribadat dengan sungguh-sungguh/orang yang shaleh. Dari pengertian itu makna santri bukan sekadar belajar untuk memenuhi kurikulum sekolah. Namun, lebih dari itu, bagaimana sosok santri mampu melakoni kurikulum kehidupan yang berbeda dengan pemuda lain di luar sana.
Kesalehan inilah yang menjadi barang mahal di tengah gemerlap kehidupan. Secara terminologi, makna saleh diambil dari akar kata bahasa Arab, shaluha yang berarti manfaat atau sesuai. Artinya, kualitas pemuda Islam selain berkarier dengan ilmunya, hendaknya dapat dimanfaatkan masa-masanya dalam memperhatikan agenda keumatan. Peran dakwah dapat dijadikan lokomotif pergerakan santri untuk mempersiapkan bibit unggul ke depan. Karakter keislaman di sini, tidak selalu menonjolkan perihal fisik dan fasilitas semata, tetapi lebih kepada terobosan pada program keumatan.
Pada kenyataannya, takaran kesalehan bagi umat Islam terkesan dibonsai dan mengalami penggundulan makna. Fenomena ini menyajikan wajah Islam yang eksklusif dan tidak kompetitif. Benar, dalam prosesnya, karakter santri dibentuk pada tempat khusus dan rela tinggal beberapa waktu bersama seorang pembimbing (musyrif). Bukan berarti kehidupan demikian membuat kita justru bersembunyi dan selalu bersifat melankolis (manja).
Seiring berjalannya waktu tiada yang dapat ditakar dari kesalehan sekiranya santri hanya memburu ijazah. Lebih ironi jika pondasi utama, seperti ibadah, rukun iman dan rukun Islam, adab, dan tata krama pun tak berbekas pada dirinya. Artinya, usia muda sebagai masa paling ranum dalam menggali saripati pesantren terlewatkan begitu saja. Padahal lewat pesantren akan tercipta pendidikan karakter karena kerelaan anak-anak untuk berpisah dengan orang tua menjadi bagian kemandirian menuju kedewasaan.
Menanam Kurma
Ada hal yang menarik perihal konsep pendidikan karakter yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Konsep itu dikenal dengan istilah Trilogi pendidikan. Pandangan ini bertolak dari tiga ranah pendidikan: ranah keluarga, ranah perguruan (sekolah), dan ranah kepemudaan. Tiga komponen ini harus saling menopang agar dapat tercipta pendidikan karakter yang utuh.
Trilogi pendidikan ala Ki Hajar Dewantara sehaluan dengan konsep pendidikan pesantren. Peranan orang tua atau komunitas orang tua yang biasa dikenal dengan istilah komite sekolah menjadi ranah utama. Keberadaan komite sekolah sangat penting guna tercipta peran serta orang tua lebih terkonsep dan teratur mengawasi tumbuh kembang sang buah hati. Dengan begitu, sekolah tidak berpikir sendiri dalam memberikan solusi terkait masalah kesiswaan atau kesantrian. Jika tak ada lembaga tersebut maka dibutuhkan guru pengasuh atau dalam dunia pesantren dikenal dengan istilah musyrif. Justru dengan adanya komunitas kepengasuhan lebih mendekatkan iklim belajar kepada para guru di sekolah, seperti yang diidealkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Lembaga kemusyrifan inilah menjadi ruh pesantren untuk menghadirkan suasana belajar istimewa bagi para santri. Di sinilah kurma (kurikulum merdeka) mengambil banyak peran sebagai arus utama menentukan corak lembaga pendidikan lebih unggul dibandingkan sekolah negeri.
Kurma oleh penulis bukan dimaksudkan KMB (Kurikulum Merdeka Belajar), tetapi lebih kepada kurikulum unggulan yang menentukan corak pesantren. Di dalamnya pendidikan Al-Qur’an dan pembelajaran kitab-kitab hadis dan ulama harus menjadi program andalan. Bahkan pembinaan life skill dan kecakapan hidup bisa dibiasakan oleh lembaga ini. Dari sini pula kemandirian akan diperkenalkan pada siswa atau santri sehingga kurikulum merdeka lebih realistis.
Ranah berikutnya adalah lembaga perguruan atau sekolah. Demi menjaga marwah, sebaiknya sekolah mampu menyeimbangkan reward dan punishment. Sebelum reward dan punishmen terjadi, dekatilah santri dengan nasihat. Pendekatan sanksi seharusnya lebih mendewasakan. Dalam artian seluruh stakeholder sekolah dan pesantren memiliki komitmen satu suara menerapkan sanksi tegas. Jika hal tersebut tak dapat dibuktikan maka jangan heran bila santri segan pada guru tertentu dan menganggap remeh guru yang lain.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah komunikasi dengan orang tua atau komite. Penulis banyak menemukan kasus, sanksi sekolah berbuntut kriminal oleh aduan orang tua ke kantor polisi karena sanksi sekolah tergolong hukuman berat yang mengejutkan orang tua. Mustahil orang tua terkejut sekiranya pendekatan sanksi melewati jalur komunikasi yang intensif.
Garda terdepan pembangun karakter berikutnya keberadaan barisan pemuda. Dalam konteks kepesantrenan, posisi pemuda dikenal dengan nama mudabbir, di sekolah negeri biasa dikenal OSIS. Satu hal yang turut menjadi batu sandungan guru dan kiai jika keberadaan mudabbir tidak dikader dengan baik. Parahnya pula jika santri-santri senior sekelas mudabbir mendapatkan perlakuan kasar dan teguran keras di depan para santri. Demi mempertaruhkan rasa malu maka mereka pun menyimpan amarah dan dendam pada kiai atau guru tertentu akibat sanksi yang tak berjalan dengan baik.
dikenal dengan “Tripusat Pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara, seorang guibarat sumur yang jernih (sumber keilmuan yang harus ditimba), sedangkan seorang siswa ibarat musafir yang kehausan. Oleh karena itu, bukan guru yang harus datang ke
Akhirnya Kurma Siap Dipanen
Kurma (Kurikulum Merdeka) melalui trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara dapat diterapkan dengan baik apabila tiga komponen itu saling menopang dan mendukung. Sangat disayangkan ketika lembaga pendidikan sekelas pesantren dengan jumlah guru ratusan orang, namun yang disegani hanya satu, atau dua orang guru, berarti trilogi pendidikan ada yang timpang. Aturan tidak saling menopang dan komunikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Peran keluarga juga menjadi pendukung utama karakter santri. Jika konteksnya adalah pesantren berarti guru pengasuh (musyrif) menjadi pengendali suasana sehingga karakter santri terjaga. Jika perlu barisan mereka lebih berlapis dibandingkan guru di sekolah. Hal itu menjadi keniscayaan karena barisan musyrif senantiasa membersamai para santri siang dan malam selama 24 jam. Ya, pengganti orang tua di rumah. Bahkan jika trilogi ini solid, bukan tidak mungkin guru pengasuh menjadi lokomotif dan mudabbir sebagai laras pendobrak demi merestorasi karakter keislaman yang menambah trust bagi marwah pesantren.
Barisan para pemuda (mudabbir) ini bisa menjadi penentu napas panjang sebuah lembaga. Jika perlu santri yang telah dianggap matang harus dilatih kepiawaiannya sebagai “kawah chandradimuka” dengan pembinaan yang sistematis dan rentang waktu yang tidak mudah baik penjaga panji maupun unit gerakan keumatan semisal komunitas dai. Dengan demikian pesantren tidak susah payah lagi mencari khatib-khatib muda atau imam salat yang mumpuni. Apalagi bila khatib utama berhalangan hadir, dapatlah diminta mudabbir untuk menggantikan peran mereka.
Tripusat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara ialah, “di dalam hidupnya
Konsep yang demikian ini, membuat Ki Hadjar Dewantara tidak memandang perguruan atau sekolah sebagai lembaga yang memiliki orientasi mutlak dalam proses pembentukan karakter anak. Justru beliau memandang pendidikan sebagai suatu proses yang melibatkan unsur-unsur lain di luar sekolah seperti halnya komite dan pesantren.
Tiap-tiap komponen harus mengetahui kewajiban masing-masing dan tidak melupakan tanggung jawab masing-masing secara proporsional. Tidak menutup diri perihal latar belakang anak dan alasan keluarga untuk menitipkan buah hati di pesantren. Lingkungan sekolah sebagai balai wiyata bertugas mencerdaskan cipta, rasa, dan karsa secara seimbang. Sementara itu, alasan pemuda atau masyarakat untuk melakukan penguasaan diri dalam pembentukan watak agar pemuda dapat dijadikan sebagai bibit pembentukan karakter keislaman masa depan.