KARENA PAHLAWAN AKAN MELAKUKAN HAL YANG SAMA
Ustadz Irpan Halim, Lc., M.H.
Selasa, 21 Mei 2024. Seorang pemuda berusia 20 tahun melakukan penikaman secara acak terhadap penumpang kereta MRT Taichung.
Albinaainframe- Insiden berdarah kembali terjadi di Taiwan pada hari Selasa, 21 Mei 2024. Seorang pemuda berusia 20 tahun melakukan penikaman secara acak terhadap penumpang kereta MRT Taichung. Akibat insiden itu sejumlah penumpang dilaporkan mengalami luka-luka. Aksi berdarah tersebut berakhir setelah beberapa penumpang secara heroik melumpuhkan pelaku dan merebut pisau yang menjadi senjatanya.
Setelah insiden di MRT Taichung, pemerintah kota setempat melakukan identifikasi terhadap rekaman CCTV dan mendapati ada 16 penumpang yang berperan dalam melumpuhkan pelaku penikaman. Atas keberanian para penumpang tersebut pemerintah setempat memberikan penghargaan dan hadiah berupa akses gratis seumur hidup untuk menggunakan layanan transportasi MRT. Dalam acara penyerahan penghargaan oleh wali kota kepada para penumpang yang pemberani, salah satu penerima penghargaan berhasil menarik perhatian warganet. Hal itu terjadi ketika dia mendapatkan pertanyaan dari wartawan terkait motif yang mendorongnya untuk tampil berani mengorbankan dirinya demi orang lain. Dia hanya menjawab, “Karena Himmel akan melakukan hal yang sama.” Jawaban ini menarik perhatian warganet karena Himmel yang dia sebutkan adalah tokoh fiktif dalam serial animasi (anime) yang diproduksi di Jepang. Dalam serial animasi tersebut sosok Himmel ini digambarkan sebagai pahlawan yang sering membantu orang lain sehingga dia dicintai oleh banyak orang. Karakter Himmel yang dia idolakan ini ternyata menjadi inspirasi saat dia tampil dengan berani menghadapi serta melumpuhkan pelaku kejahatan dalam insiden berdarah MRT Taichung.
Kisah di atas merupakan salah satu gambaran perilaku yang disebut imitasi. Ada beragam definisi terkait pengertian imitasi yang semuanya bermuara kepada makna ‘meniru’. Keragaman definisi ini lahir dari fakta bahwa imitasi menjadi objek kajian berbagai disiplin ilmu. Mulai dari psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat, ekonomi, neurologi, studi hewan (animal study), hingga kecerdasan buatan turut serta mempelajari tentang imitasi. Masuknya berbagai disiplin ilmu ini dalam kajian tentang imitasi tidaklah mengherankan jika melihat kepada fungsi imitasi itu sendiri, yaitu berhubungan dengan kemampuan manusia untuk berinteraksi secara sosial serta penurunan budaya dari satu generasi kepada generasi selanjutnya. Imitasi ini erat kaitannya dengan proses pembelajaran terutama pada anak karena—sebagaimana disebutkan Gabriel Terde—seluruh kehidupan sosial itu terinternalisasi dalam diri anak berdasarkan faktor imitasi. Jika dikaitkan dengan pembelajaran maka imitasi bisa didefinisikan sebagai proses belajar yang dilakukan seseorang dengan meniru atau mengikuti perilaku orang lain, baik sikap, penampilan, gaya bicara, maupun hal lainnya yang dimiliki oleh orang lain.
Imitasi bukanlah proses yang sederhana. Imitasi bukan sekedar meniru gerakan yang sama (mimikri) ataupun meniru tujuan (emulasi). Ia tidak terjadi secara otomatis melainkan melalui tiga tahapan yang diawali dari (1) Adanya interaksi, berkenalan yang kemudian menghadirkan minat atau perhatian yang besar terhadap orang yang akan diimitasi; (2) Rasa kagum serta menjunjung tinggi nilai dari orang tersebut; (3) Adanya dorongan keinginan untuk mendapatkan penghargaan sosial yang sama seperti sosok yang diimitasi. Hal ini tercermin dalam kisah penumpang MRT Taichung. Ketertarikan serta kekagumannya terhadap sosok pahlawan fiktif idolanya bisa menghasilkan perilaku heroik. Imitasi memang laksana pisau bermata dua, bisa berdampak positif serta bisa juga berdampak negatif tergantung kepada objek yang diimitasi. Oleh karenanya sering ditemukan remaja laki-laki dengan penampilan rambut gondrong, merokok, memakai anting dan gelang karena mengimitasi anak band metal yang menjadi idolanya.
Dalam ruang lingkup pendidikan di pesantren, idealnya santri ketika berada di jenjang akhir masa belajarnya sudah memiliki perilaku yang baik dan Islami sebagai hasil dari proses belajarnya serta cerminan dari upayanya mengimitasi perilaku baik yang ditunjukkan oleh warga pesantren, seperti santri teladan, ustaz, dan pimpinan pesantren. Hal ini dikenal dengan istilah tarbiyyah bi al-qudwah. Akan tetapi, kenyataannya hal tersebut tidak semudah membalik telapak tangan. Pola asuh yang ditanamkan orang tuanya di keluarga, latar belakang pendidikannya di jenjang sekolah dasar, serta pergaulannya sebelum memasuki pesantren sudah terlebih dahulu membentuk perilaku santri. Ditambah dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat memudahkan santri untuk terpapar tokoh-tokoh serta karakter dari kalangan di luar Islam. Tak ayal kalau santri lebih familiar terhadap tokoh dari Barat yang notabene banyak dari kalangan nonmuslim dibandingkan tokoh dan pahlawan muslim. Materi pelajaran pun ikut berperan dalam menjejali santri dengan tokoh-tokoh dari kalangan nonmuslim. Hal ini bisa terlihat dari pemilihan nama grup ketika diselenggarakannya acara Usbu Tsaqofy. Nama-nama ilmuwan Barat dipilih panitia sebagai pilihan untuk nama grup, termasuk nama ilmuwan atheis, Stephen Hawking, bersyukur nama tersebut dihapuskan setelah adanya protes dari salah satu ustaz. Dalam kesempatan lain, pimpinan pesantren pernah memberikan kritik cukup keras ketika beliau mendengar nama angkatan yang mirip dengan tokoh penjelajah dunia pembenci Islam yang pernah membakar kapal beserta penumpangnya yang memuat ratusan jamaah yang baru pulang melaksanakan ibadah haji. Masih ada beberapa contoh kasus lain, hanya saja penulis cukupkan dengan dua contoh di atas saja sebagai gambaran bahwa salah satu tugas kita ada menggeser nama tokoh-tokoh nonmuslim dan menggantinya dengan tokoh muslim dalam ruang alam pikiran para santri.
Jika melihat tiga tahapan terjadinya imitasi sebagaimana yang telah disebutkan, saat ini kita sudah tertinggal bahkan mulai dari tahapan yang pertama, yaitu interaksi yang direpresentasikan lewat pengenalan terhadap objek yang diimitasi. Santri lebih mengenal dan mengidolakan selebriti, atlet sepak bola, youtuber, dan tiktoker dibandingkan ustaznya, dibandingkan tokoh dan pahlawan muslim serta para shahabat Nabi. Hal ini tercermin dari pengalaman beberapa ustaz yang menawarkan tontonan dari Youtube kepada para santri. Nama kanal Youtube yang diusulkan santri merupakah kanal youtuber yang jauh dari nilai-nilai Islami. Jika sosok-sosok seperti ini yang lebih dikenal dan diidolakan santri, dikhawatirkan karakter merekalah yang akan diimitasi oleh santri baik secara sadar maupun tanpa mereka sadari.
Oleh karenanya, di antara upaya untuk memperbaiki kondisi ini, penulis mengusulkan:
Penguatan materi Siroh, dimulai dari siroh Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam kemudian siroh para shahabat dan ulama salaf. Teladan kehidupan sudah ada bagi umat Islam dari kalangan internal sendiri, ada banyak sosok heroik, ilmuwan, pengusaha, pemimpin, pendidik dan berbagai pilihan profesional lainnya yang bisa diimitasi. Saat ini pengajaran Siroh belum optimal, bahkan siroh Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam belum diajarkan sampai selesai, yaitu peristiwa wafatnya beliau. Penguatan materi Siroh ini tidak hanya diberikan kepada santri, tetapi juga kepada seluruh warga pesantren. Harapannya terjadi imitasi secara paralel. Para ustaz mengimitasi keteladanan Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam beserta para shahabat beliau, dan ditampilkan hasilnya lewat keteladanan yang ditunjukkan kepada para santri, sehingga santri bisa mengimitasi keteladan tersebut sebagai perilaku sehari hari.
Pengarusutamaan tokoh-tokoh Islam dalam proses pembelajaran. Salah satu bentuknya adalah mengintegrasikan nama tokoh Islam dalam soal latihan. Sebagai sekolah Islam apalagi berbasis pesantren, sudah selayaknya kita mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam materi pembelajaran. Dalam pembelajaran matematika pernah ditemukan soal yang menggunakan skema riba perbankan sebagai soal latihan. Fulan rutin menabung Rp200.000,00 setiap bulannya di bank dengan bunga 2% perbulannya. Berapakah jumlah uang fulan setelah 2 tahun? Tentu hal seperti ini cukup disayangkan. Hal yang berbeda dilakukan di sekolah Islam lain, pembelajaran matematika sudah terintegrasi dengan nilai dan tokoh Islam, seperti soal matematika di Kuttab Al-Fatih yang contoh soalnya, Abu Hurairah meriwayatkan hadits sebanyak 5374. Angka berapakah yang memiliki nilai ribuan? Soal seperti ini sangat baik karena selain pelajaran matematika tersampaikan, santri juga diperkenalkan kepada sosok sahabat Nabi dan prestasinya. Dengan mengarusutamakan tokoh-tokoh Islam dalam proses pembelajaran, kita “jejalkan” nama-nama tersebut dalam ingatan para santri sehingga bisa menggeser nama-nama lain dari kalangan di luar Islam.
Tentu usulan di atas belumlah ideal karena belum mencakup semua tahapan imitasi. Namun, setidaknya itu bisa menjadi langkah pertama untuk terwujudnya santri yang berkarakter Islami. Dengan mengenal biografi tokoh-tokoh Islam serta prestasi dan pencapaiannya diharapkan bisa tumbuh rasa bangga dan kagum yang kelak bisa menginspirasi setiap perilaku dan tindakan para santri serta kita semua.